Saturday, April 26, 2008
sudahkah kita bersyukur?
Bapak Hansip Berjuang Hidup
J : Siang..
T : Nama lengkapnya siapa ya Pak?
J : Ngadimin..
T : Asalnya dari mana Pak?
J : Dari Jawa Tengah
T : Jawa Tengahnya mana Pak?
J : Di Boyolali..
T : Trus tinggal di sini sama siapa Pak?
J : Tinggal di sini kebetulan saya ngontrak..
T : Oo.. Deket sini Pak?
J : Iya,, di sebelah kuburan depan.. tapi bukan di kuburannya.. Di kelurahan Duri Kepa.. Di Villa Tomang Mas..
T : Hahaha... Sudah berkeluarga Pak?
J : Udah.. Anak saya 3
T : Sudah berapa tahun Pak berkeluarga?
J : Sudah 12 tahun
T : Lalu.. Berkerja jadi hansip sudah dari kapan?
J : Sejak tahun 1999
T : Berarti sudah 9 tahun.. Oia.. Anaknya 3 umur berapa saja Pak?
J : Yang pertama 7 tahun, yang kedua 4 tahun, yang ketiga 3 tahun
T : Trus.. Penghasilan jadi hansip berapa Pak?
J : Penghasilan saya.. Ooo..kurang sekali, sangat minim sekali.. Gaji saya 700.000
T : Per bulan?
J : Iya, per bulan.. Sangat minim sekali itu.. Pertama buat ngontrak 150 kan, belum sisa buat bayar air, listrik...
T : Trus.. Kalau kurang gitu gimana?
J : Kalau kurang yaa... Kalau masih ada pekerjaan ya saya cari..
T : Jadi tambahan?
J : Iya.. Namun juga nggak selalu.. Kadangkala ada pekerjaan ya saya kerjain.. Seperti menambal talang, misalnya talang rumah bocor nih punya warga saya, kan saya tinggal di Villa Tomang Mas.. Barang kali ada yang butuh..ya saya kerjain.. Tapi itu cuma bisa kalau saya shift malam, kalau shift siang begini ya sudah nggak bisa lagi..
T : Emang pembagian jadi hansipnya bagaimana Pak?
J : Jam kerja.. Di sini 12 jam kerja.. Karena 2 shift..
T : Dari jam berapa tuh Pak?
J : Dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam
T : Trus dari jam 7 malam sampai jam 7 pagi?
J : Iyaa.. Trus nanti misalnya kalau hari Sabtu, saya 24 jam.. Berangkat hari Sabtu jam 7 pagi, Minggu pagi baru pulang..
T : Kok bisa begitu Pak?
J : Karena 2 shift, jadi saya terus lanjut.. Kalau nggak begitu yang shift pertama nggak istirahat kan.
T : Ooo.. Iya iya.. Nngg.. Kira-kira dengan gaji yang sekarang itu Pak, yang agak minim itu.. Bagaimana cara menggunakannya Pak? Maksudnya cara mengaturnya..
J : Cara mengaturnya kalau gaji segitu sekarang barang-barang sudah mahal kan.. Apa-apa sudah mahal, nggak minyak nggak beras.. Kadang-kadang istri saya masak di rumah kan, tapi itu pun memerlukan dana yang lumayan kan.. Jadi terkadang nggak, istri saya, saya suruh masak nasi, lauknya saya beli saja di warung.. Karena minyak tanah sekarang mahal, misalnya 10000 buat beli minyak sisanya 3000, minyak 7000.. Ya mending beli lauk matang.. Tapi ya rasanya kurang puas.. hanya makan belii sajaa.. Jadi setelah makan sudah nggak ada lagi,, tapi kalau masak kan masih ada sisa.. buat anak-anak...
T : Emang nggak dapat itu Pak? Kompor subsidi?
J : Kompor apa?
T : Kompor gas itu..
J : Kompor subsidi ada.. Cuma waktu saya suruh istri saya pakai, dia takut.. Soalnya rumah saya itu tipe-tipe rumah kumuh, kontrakan triplek lah, bedeng.. Jadi banyak tikus.. Kalau malam kan takut ngegigit.. Soalnya suka gigit kabel, kabel dispenser saja putus kalau digigit.. Bagaimana saya taruh gas, nanti kan meledak, kebakaran..
T : Padahal kalau pakai kompor itu kan jauh lebih murah..
J : Oo.. Jauh.. Abis semuanya sudah pada mahal juga.. Kompornya hidup, berasnya nggak ada..
T : Iyaa.. Semuanya naik..
J : Saya dapat jatah beras 5 liter 1 bulan sekali..
T : Ooo,, Jadi dapat?
J : Iyaa., Itu tambahan.. Emang 5 liter dapat setiap tanggal 15an.. Itu pun juga dari warga, inisiatif warga, berikut tagihan bulanan itu kan.. Kalau emang dia mengasih beras yang diambil, kumpulin, bagi ke karyawan di Villa Tomang Mas.. Kadang pun ada yang dikasih kadang nggak..
T : Jadi paling nggak setiap bulan itu dapat 5 liter? Itu sudah pasti?
J : Pasti..
T : Yaa lumayann..
J : Ya kalau dulu sih mungkin sampai 2 kali sebulan ya.. Tapi pernah juga 1 bulan nggak dapat.. Kalau dapat ya lumayan.. Itungannya kan dari yang nggak makan jadi makan.. Saya juga ngalamin makan indomie sehari semalam karena sudah nggak ada apa-apa lagi..
T : Lalu Pak.. Kalau yang 7 tahun itu sudah sekolah Pak?
J : Yang 7 tahun sudah.. Di SD..
T : Kalau untuk biaya sekolah masih mampu Pak?
J : Biaya sekolah.. Nah ini ya.. Kalaupun terkadang membutuhkan, biaya sekolah itu diharuskan kan.. Kita nggak bayar, buku nggak dapat.. Seharusnya sih memang betul-betul berat sekali.. Tapi ya namanya untuk kebutuhan anak, dari mana saja harus dapat.. Jadi kalau ada gali ya gali lubang tutup lubang, pinjam uang bayar utang.. Yahh.. Kurang lah istrilahnya..
T : Oo.. Lalu semua hansip gajinya segitu semua Pak?
J : Gaji mungkin di sini ada tingkatannya yang lama yang baru ya.. Mungkin saya nggak bisa istilah kasarnya menyebutkan satu per satu.. Kan ada yang kerja sudah lama ada yang baru. Takutnya dikarenakan orang lama, gajinya berbeda.. Yah karena ini kan swadaya, dari warga lah.. Didapat juga Cuma dari iuran..
T : Hhmm.. Itu Pak.. Bisa tolong ceritain kehidupan sehari-hari Pak? Di rumah begitu..
J : Kehidupan.. Ya istri sebagai ibu rumah tangga.. Kalau ada kerjaan ya Cuma masang mute ke bajut.. Itu kalau dapat uang 1 baju y 250 perak.. Sedangkan isinya banyak sekali..
T : Wiih.. 1 baju Cuma 250 perak.. Pelit banget..
J : Ya iyaa.. Mute-mute itu juga nggak terus menerus.. Kalau ada barang ya dikerjain, dari bosnya itu.. Kalau nggak ada ya.. nganggur.. Ya Cuma ngurusin anak.. Nggak ada yang lain..kosong.. Jadi saya harus berkerja keras.. Sebagai bapak ya.. Supaya bisa menciptakan untuk anak-anak, bisa hiduplah seenaknya.. Mungkin hidup sengsara sedikit.. Memang jadi orang susah begitu.. Sudah wajar lahh..
T : Oohh.. hhwhw..
J : Cara berpakaian untuk anak-anak saya itu setahun sekali saya beli..
T : Lebaran Pak?
J : Iyaa.. Setahun sekali..
T : Kalau lebaran dapat tunjangan Pak?
J : Tunjangan ya dapat dari Pak RW, sebulan gaji..
T : Trus suka pulang kampung Pak?
J : Saya sudah 4 tahun nggak pulang, karena keterbatasan dana.. Sekarang ada tunjangan sedikit untuk biaya anak-anak berpakaian. Minimal 1 anak minta 2 setel, 3 anak ya 2 setel 2 setel tidak mencukupi.. Apalagi pulang kampung.. Sedangkan ongkosnya 1 orang 250000, kalau saya pulang berarti percuma itu.. sama anak-anak kecil.. Lalu saya beli bangku sendiri di bus.. 5 orang kan.. Karena nggak mencukupi jadi ya saya nggak pulang.. 4 tahun itu saya masih bertahan di Jakarta.. Kalau masalah kabar ya mending lewat wartel saja, kalau nggak pinjam telepon..
T : Tapi masih berkomunikasi kan?
J : Iya.. Saya masih punya keluarga
T : Oia Pak.. Kalau jadi hansip itu kan shiftnya 12 jam, itu ngapain saja?
J : Oo.. Pekerjaan saya.. Terutama tugas yang saya laksanakan dari pagi saya absent, tanda tangan sesuai perintah yang di situ atau peraturan, bagi tugas, masing-masing memasuki pos, kan 5 orang, itu disebar ke masing-masing pos.. Semuanya itu pada memantau, terutama cek dulu semuanya.. Patroli keliling untuk pengecekan mobil maupun pintu-pintu, rumah kosong, segala macam.. Takutnya pergantian sama shift itu ada yang lupa yang shift malam, jadi perlu pengecekkan ulang.. Barangkali ada yang kebobolan saya nggak tahu, atau warga membutuhkan pertolongan.. Makanya dicek dulu, paling minim setengah jam lahh.. Lalu balik ke pos.. Jam 7 sampai jam 9 saya muter lagi, pindah pos dari pos 1, pos 2, pos 3 sampai pos 5.. Trus jam 9 begitu juga, keliling lagi, balik lagi ke pos untuk memantau.. Kalau misalnya ada mobil yang dikenal, ya kita kontek ke teman lain.. Karena kita kerja sama, saya juga nggak bisa sendiri kan.. Lalu kalau ada warga yang membutuhkan pertolongan, barangkali butuh taksi, atau rumahnya ada bangkai.. Trus muter lagi setiap 2 jam sekali.. Tiap hari kerjaan saya begitu..
T : Oohh.. Begitu.. Ya sudah Pak.. Kayaknya itu saja.. Terima kasih Pak atas waktunya.. Selamat Bekerja..
J : Oiah.. Sama-sama dek..
Jeannie X4-9
Katha X4-13
Inilah Hidup
Tapi hidup ini ternyata nggak semudah menepok nyamuk juga.. Karena dengan menambah energi pun belum bisa dibandingkan dengan perjuangan untuk hidup..
Istilahnya hidup itu lebih berat daripada yang kita bayangkan..
Istilahnya hidup yang kita tahu berat itu, nggak seberat perjuangan mereka yang miskin..
Istilahnya hidup yang sering kita keluhkan itu, hanya 1 % dari keluhan mereka..
Saat pagi hari, di mana biasa aku duduk di mobil untuk berangkat ke sekolah.. Aku melihat seorang Bapak hansip, berdiri di jalan seolah-olah berteriak, “Aku lelahh…” Dengan berseragam hijau – hijau, terlihat kantung matanya yang begitu besar, membuktikan betapa ia mengantuk..
Melihat mereka yang miskin dan tak bisa hidup layak..
Mungkin baru pertama kali ini aku rasakan dan dengarkan cerita-cerita mereka. Bagaimana cara untuk bisa terus hidup. Benar-benar bertahan hidup dengan keterbatasannya di tengah-tengah zaman yang semakin modern ini.
Bagaimana seorang Bapak mencari uang, peluh yang dirasa, kantuk yang menyerang, dan beban yang HARUS ditanggung..
Di pundaknya bagaikan terdapat 1000 ton karung yang harus dipanggulnya.. Ke mana pun dia pergi terasa beban yang ditahannya..
Kata-katanya yang lemah di kala menjawab pertanyaan..
Matanya yang berair di kala mengingat keluarganya..
Senyumnya yang terpaksa di kala dia berkata “Hidup sengsara sedikit.. Memang jadi orang susah ya begitu.”
Lalu, apa yang biasa aku lakukan?
Seringkali aku berpikir, ”Dia itu kan CUMA .... ” atau ”Dia itu kan HANYA...
Memang kehidupanku sebagai seorang siswi SMA di salah satu sekolah bergengsi di Jakarta tidak bisa dibandingkan dengan mereka.
Aku senang, mereka tidak senang..
Aku diantar jemput naik mobil, mereka hanya jalan kaki..
Aku punya berpuluh-puluh pasang sepatu, mereka hanya punya 1 pasang..
Aku punya rumah layak berAC, mereka hanya punya rumah triplek ingin roboh..
Aku punya handphone, mereka hanya punya telepon umum..
Aku punya makanan berlimpah, mereka hanya punya beras 5 liter 1 bulan..
Ataupun..
Mereka sangat sulit untuk mengorbankan uang seharga 7000 untuk membeli minyak tanah, sedangkan aku dengan mudahnya membuang uang sebesar 7000 untuk jajan..
Sang Ayah harus berkerja 24 jam dulu untuk mendapat makan, sedangkan aku, tinggal berteriak ke pembantu untuk menyediakan makanan..
Mereka hanya dibelikan 2 stel pakaian setahun.. Sedangkan aku mempunyai 1 atau 2 lemari pakaian, dan aku hanya memakai setengah dari yang aku punya, sedang yang setengah lagi hanya sebagai pajangan..
Tuhan..
Tidakkah itu keji?
Bagi kita sekarang, kita mengasihani mereka..
Bersedih, prihatin, dan ikut turut berempati..
Tapi bisakah kita benar-benar memperjuangkan hidup layaknya mereka berjuang hidup?
Benar-benar memperjuangkan segala kelayakan, kesejahteraan, keamanan, kepintaran, kemewahan yang kita punya..
Benar-benar berjuang untuk menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik daripada mereka yang tidak seberuntung kita..
Dengan adanya pengalaman ini, aku bisa lebih membuka mataku.. TIDAK.. Mata hatiku.. agar itu tadi, supaya bisa menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik daripada mereka yang tidak seberuntung aku..
Dengan lebih menghargai dan menghormati hidup ini.. Tidak melewati begitu saja peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan hidup..
Tidak mengganggap mereka yang miskin itu hanya orang yang tidak penting, melainkan mengganggap mereka salah satu bagian dari hidup kita..
Menjadi contoh untuk kita berefleksi terus dan terus akan hidup kita yang sudah layak..
Menjadi contoh untuk kita bisa membuat hidup kita menjadi lebih dan lebih indah..
Menjadi contoh untuk kita benar-benar berjuang menghadapi hidup..
Menjadi contoh untuk kita tegar, bertahan, dan kuat untuk menghadapi segala rintangan dan cobaan yang tidak sebesar ringtangan dan cobaan mereka..
Menjadi contoh untuk kita untuk menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik..
Kita hanya perlu berusaha lebih keras daripada biasanya..
Kita hanya perlu melangkah lebih besar daripada biasanya..
Kita hanya perlu bertahan lebih kuat daripada biasanya..
Yaa..
Inilah HIDUP
Jeannie
X4-9
Kemiskinan di Sekitar Kita
Seperti yang dialami oleh Pak Ngadimin. Ia adalah seorang hansip yang kami wawancarai. Menurut hasil wawancara kami dengan beliau, penghasilannya selama sebulan sangatlah tidak mencukupi untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Tempat tinggalnya bahkan hanya sebuah rumah bedeng di dekat Taman Pemakaman Umum (TPU).
Saya merasa prihatin setelah mendengar cerita beliau. Hal tersebut semakin menyadarkan saya bahwa di kota besar ini tidak hanya orang berada saja yang dapat hidup, tetapi banyak masyarakat lapisan bawah yang berjuang mempertahankan hidupnya. Betapa sulitnya mereka mencari uang sehingga harus hidup pas-pasan. Mereka tak dapat berbuat hal lain selain mencari jalan mempertahakan hidupnya. Dengan tujuan awal yang ingin mengadu peruntungan nasib di Jakarta, hasilnya malah justru kebalikannya. Bahkan hidup mereka di desa lebih baik daripada hidup mereka sekarang ini. Ingin kembali ke desa, tetapi tidak mempunyai biaya untuk pulang. Akhirnya yang dapat dilakukannya hanyalah mempertahankan hidup mereka.
Pak Ngadimin hanyalah satu dari banyak masyarakat yang mengalami hal tersebut. Tetapi saya salut terhadap beliau yang tetap berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya. Ia terus berjuang, bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi anak istrinya.
Katha
X4-13
Kekayaan Bukan Segalanya
Akhirnya saya menyadari bahwa hidup itu tak sepenuhnya indah hanya dari kenikmatan saja. Tetapi hidup bisa menjadi indah klo kita membuatnya menjadi indah. Bapa tua itu menagajarkan saya, walaupun kita kehilangan orang yang sangat kita cintai tetapi kita masih mempunyaui orang yang sangat memerlukan kita. Maka dari itu satu pelajaran berharga yang diberikannya, jangan perna menyerah dengan apa pun yang terjadi. Pasti ada jalan untuk mencapai kebahagiaan.Dengan perjuangan keras, kita pasti bisa mendapatkan apa yang kita inginkan waalaupun kita dalam kemiskinan hidup atau pun kemiskinan hati sekali pun. Karena Tuhan pasti akan membukakan jalan bagi kita.
GBU….
Dea ( X-4 / 1 )
Hidup adalah Bagaimana Kita Mensyukurinya Dengan Sepenuh Hati..
Dengan kemampuan memasaknya, Bu Mariamin selama 15 tahun ini menjadi penjaga warteg dan memuaskan pelanggannya dengan kenikmatan masakan yang dibuatnya. Seringkali kita merasa pekerjaan yang layak adalah pekerjaan yang bergengsi seperti pengusaha, dokter, fashion designer, atau pekerjaan lain yang dianggap memberikan kemewahan, ketenaran, dan kenikmatan duniawi. Sedangkan pekerjaan yang digeluti oleh orang-orang kecil seperti pemulung, pedagang kecil, dan penjaga warteg seperti yang dikerjakan oleh Bu Mariamin ini hanya dipandang sebelah mata dan tidak masuk dalam hitungan dunia kerja yang selama ini dipandang oleh orang-orang pada umumnya. Sebenarnya apakah arti memeras keringat itu? Setiap orang bekerja siang malam untuk menghidupi keluarganya dan kelangsungan hidupnya sendiri. Tetapi justru orang-orang kecil dan miskin yang bekerja dengan sepenuh hati meskipun pekerjaan itu tidak begitu memenuhi kehidupannya sehari-hari yang lebih banyak mensyukuri kehidupannya daripada kita yang kaya dan memiliki banyak harta dan kekayaan duniawi. Bagi kita yang kaya akan harta terkadang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hartanya sehingga sering lupa akan Tuhan yang telah memberkati mereka sehingga bisa menjadi seperti sekarang ini.
Dalam hidup ini memang manusia diciptakan dengan kebutuhan yang tak terbatas, dan manusia juga tak pernah puas. Karena ketidakpuasan itu manusia terkadang cenderung menghalalkan segala cara untuk menjadi kaya dan menomorduakan Tuhan. Burung diciptakan untuk bersiul dan merekapun bersiul. Manusia diciptakan untuk bersyukur kepada Tuhan tetapi kita tak melakukannya. Apakah kita harus jatuh miskin dulu baru akan mengingat akan Tuhan yang telah memberikan segala kenikmatan dan berkat bagi kita? Hidup bukanlah semata-mata untuk menjadi kaya dan terpandang. Tetapi hidup adalah bagaimana kita mensyukurinya dengan sepenuh hati dan menyerahkan seutuhnya kepada Tuhan sekurang dan semenderita apapun kita. Karena dalam Tuhan disitulah terdapat segala kenikmatan dan keindahan yang tak pernah ada dalam hidup. Semoga kemiskinan yang ada di sekitar kita bukannya membuat kita tambah jijik dan menyingkirkan mereka, namun menjadi salah satu alat Tuhan agar kita mensyukuri hidup kita. Tuhan memberkati..
Hidup kita ini....
Dalam tugas religiositas ini saya diberi tugas untuk melihat bentuk kemiskinan dalam kehidupan kita. Di mana dalam tugas ini kemiskinan lebih terfokus pada ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Setelah mewawancarai seorang pedagang pecel, saya sadar akan apa itu kemiskinan dan bagaimana itu kemiskinan. Walau tentunya semua orang tidak menginginkan kemiskinan tetapi tentu hidup ini bukan dipilih dan ditentukan oleh kita sendiri adakalanya seperti ban kempis dimana kita harus berada dibawah dan mengalami kesulitan seperti kemiskinan itu. Bukan karena kita malas tetapi itulah ditentukan untuk terjadi.
Ibu Yati, seorang pedagang pecel, walau sudah bekerja keras sepanjang hari berdagang tetap tidak dapat memeuhi kebutuhan hidupnya. Ia terus berjuang tanpa menyerah dan tanpa mengeluh menghadapi kemiskinan yang menimpa dirinya. Walau ia terus menantikan rejeki yang dapat memutar hidupnya. Melihat hal ini hati saya serasa ditusuk-tusuk, hanya dapat merasa iba tanpa bisa menolong. Apa yang dapak saya lakukan jika saya sendiripun masih bergantung pada orang tua?
Kembali terpikir oleh saya mengenai kutipan tadi, kemiskinan adalah sebuah masalah. Dan karena itulah tentu ada penyelesaiannya. Tapi bagaimanakah caranya mengatasi masalah tersebut? Yang terpikirkan oleh saya pertama kali adalah dengan memberi santunan. Tetapi sebenarnya apakah hanya dengan santunan dapat membantu mereka? Jawabannya tidak. Untuk menghadapi kemiskinan itu kita harus menghadapinya dari dasar, bersama-sama. Contoh yang paling mudah diberikan adalah dengan membuka lapangan kerja bagi mereka dengan gaji yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dari sisi lain saya melihat kemiskinan, saya merasa sangat bersyukur akan kehidupan yang diberikan Tuhan kepada saya. Saya pun sadar kesulitan yang saya hadapi dalam hidup ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan mereka yang harus menghadapi kemiskinan. Karena itulah saya akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi sehingga dengan begitu akhirnya dapat menolong mereka yang jatuh dalam kemiskinan. Saya juga bertekad untuk tidak lagi mengeluh dan selalu berusaha dengan segenap tenaga saya hingga tetes darah terakhir.
Denise
X4 - 6
Saya merasa tersadar, banyak yang harus bekerja keras untuk hidup, dan saya betul-betul melihat bahwa , inilah "bekerja untuk sesuap nasi", bukan "bekerja untuk seonggok berlian"(biasanya ungkapan ini untuk mereka yang memaksakan diri bekerja keras padahal penghasilannya sudah lebih dari cukup).
Saya kagum dengan Yanto yang begitu tegar dan mau berusaha, tidak hanya meminta-minta di jalan, namun juga bekerja untuk mendapat penghasilan. Ia tetap mengusahakan adiknya bersekolah, dan mau berkorban untuk hidup keluarganya. Saya merasa banyak dari sifatnya yang patut dijadikan contoh untuk masa depan saya nanti. Semoga saja ia bisa berhasil meniti kehidupan yang lebih baik lagi dibanding sekarang, dan semoga bukan hanya dia, tetapi juga banyak orang lain di luar sana yang bernasib sama.
Tuhan Sungguh baik
Selama ini saya merasa tidak puas dengan banyak hal. Sebut saja uang jajan, saya merasa uang jajan saya itu agak pas-pasan untuk per harinya. Dan itu saja sudah membuat saya mengeluh dan memprotes kedua orang tua saya.
Kemarin Selasa (22 April 2008), di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, saya dan Denise bertemu untuk mengerjakan tugas religiositas. Pertama kali, kami berpikir untuk mewawancarai seorang tukang parkir. Namun, karena kami merasa ia cukup sibuk, maka kami tidak jadi mewawancarainya. Tatapan kami beralih ke seorang penjual minuman di sekitar sana. Namun, di perjalanan kami menghampiri tukang minuman tersebut, kami bertemu Ibu Yati, seorang penjual pecel keliling di daerah Kelapa Gading. Kariernya di bidang ini sudah mencapai sekitar 5 tahunan.
Dari percakapan dengan Ibu Yati itulah, mata hati saya terbuka. Bahwa sebenarnya apa yang saya protes sesungguhnya tidak layak diproteskan dan dikeluhkan. Tentang keuangan, uang jajan saya sehari bahkan lebih banyak dari penghasilan hariannya, yang digunakannya itu untuk makan dan tinggal bersama 3 anaknya. Bayangkan, perjuangannya seharian penuh keringat berjalan kaki di bawah teriknya matahari sambil memikul dagangan, apa itu pasti cukup menghidupi keluarganya? Untuk saya dan teman-teman saja makan di KFC sudah murah sekali. Tapi buat mereka, mereka merasa bahwa itu makanan yang “SO WHOA!” Dengan penghasilan seperti itu, mereka harus pintar-pintar memilih makanan yang sehat namun murah, kontrakan saja bisa menunggak. Tapi saya dengan enaknya membeli apa yang saya mau tanpa pikir panjang.
Saya sadar bahwa saya adalah gadis yang sangat beruntung. Saya bisa bersekolah, mendapatkan uang jajan yang cukup layak (yang bagi mereka sudah merupakan penghasilan yang besar), punya mobil sehingga tidak perlu berjalan kaki ke mana-mana, dll. Pertama kali saya takjub mengetahui kehidupan mereka secara langsung. Tapi hal itu membuat saya sadar bahwa Tuhan sungguh baik pada saya. Melalui orang tua saya, Ia memelihara saya dengan sangat baik. Bayangkan kehidupan mereka yang hitungannya hanya untuk hari ini. Makan saja susah, anak-anak Ibu Yati tidak bersekolah, malang betul nasibnya.
Dan sejak Selasa itu saya mulai berpikir-pikir kalau mau menggunakan uang. Karena saya jadi tahu untuk mengumpulkan uang sedikit saja butuh perjuangan yang amat sangat berat dan panjang. Uang jajan yang saya peroleh, dibayar mahal dengan keringat orang tua saya. Saya sadar saya tidak boleh lagi memboros-boroskan uang saya, karena lebih baik diberikan pada yang lebih membutuhkan. Banyak orang di luar sana yang masih butuh uluran tangan saya. Dan tentu saja berkat tugas religio ini saya belajar untuk selalu bersyukur pada Tuhan dan menikmati kehidupan yang telah dikaruniakan-Nya pada saya. Karena, mereka saja yang kekurangan materi bisa menikmati hidup mereka, tetap bahagia, mengapa kita tidak? Padahal Tuhan telah meringankan 1 beban kita, yakni keterbatasan ekonomi.
Saya bersyukur atas semua yang sudah saya miliki, saya juga bersyukur dengan adanya tugas religiositas ini saya bisa lebih memaknai kehidupan saya.
Catherine Anabella, X4/5
Suka Duka Pedagang Keliling
Hasil wawancara kami dengan seorang pedagang pecel di daerah Kelapa Gading.
T : Selamat siang, permisi Bu, bolehkah kami mewawancarai ibu untuk tugas sekolah?
J : Selamat siang juga. Tugas sekolah? Oh.. boleh-boleh..
T : Pertama-tama, mengenai data diri ibu, nama ibu siapa?
J : Yati…
T : Sudah berkeluarga?
J : Sudah.. anak 3.. rumahnya ngontrak di Rawa Pintu 3
T : Pekerjaan ibu?
J : Berdagang pecel dan nasi keliling.
T : Mengapa ibu memilih profesi ini?
J : Karena saya sudah berumur kalau bekerja yang lain sudah susah jadi yah dagang lah dikit-dikit dari pada nganggur, kan pengeluaran banyak
T : Sudah berapa lama ibu menekuni pekerjaan ini?
J : Oh… uda ada 5 tahunan sih.. tapi belum dapet hasil apa-apa.
T : Ibu biasa dagang di daerah mana saja?
J : Di sekitar Kelapa Gading.
T : Apakah penghasilan ibu busa menutupi kebutuhan hidup?
J : Nggak bisa.. malah banyak ruginya, nombok terus..Kontrakan kadang telat 2 bulan gak
T : Kalau boleh tahu berapa penghasilan ibu sehari?
J : Yaah paling cumin 10 sampai 15 itu pun kalau habis… kalo gak habis paling cumin untung makan doang..
T : Ibu sehari bekerja berapa lama?
J : Yaah sekali dagang, dari jam 12 sampai jam 5.
T : Apa suka duka dalam pekerjaan ini?
J : Yahh kalo kerja sukanya sih kalo ada yang masih memerlukan saya.
T : Lalu, apa harapan ibu?
J : Yaah pengen punya rumah… tapi sekarang masih ngontrak.
T : Oh… ya uda deh bu, sekian dulu.. Terima kasih yah..
J : sama-sama
Catherine Anabella X4 - 5
Denise X4 - 6
Perjuangan Bu Mariama, Penjaga Warteg
Ibu Mariamin, begitu beliau disapa telah bekerja sebagai penjaga warteg selama 15 tahun. Beliau tinggal di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. Bu Mariamin memiliki 4 orang anak dan 2 orang cucu. "Alhamdullilah, anak-anak saya bisa sampai kuliah. Anak yang ke-empat masih kelas 1 SMA. Dan uangnya biarpun sedikit masih bisa untuk ditabung" begitu jawabnya saat ditanya mengenai anak-anaknya.
Ibu yang lahir di Kuningan pada tahun 1958 ini mendapat penghasilan 400-500 ribu dalam sehari. Sebagian besar untuk belanja lagi, dan sisanya untuk membiayai kehidupannya. Apa saja sih yang dijual di warteg itu? Ada banyak makanan yang dijual di sana, yang paling digemari antara lain Ikan, gorengan, telur, sayur, rendang, dan lain-lain. Untuk menjaga kelezatan masakannya, Bu Mariamin tidak memasaknya dari rumah, tapi langsung di wartegnya, sehingga masakannya tetap hangat dan enak. Warteg ini sudah buka pada jam 5 pagi dan tutup jam 8 malam. Meskipun buka selama 15 jam, tetapi masakannya belum tentu habis.
Para pembeli warteg ini biasanya mahasiswa-mahasiswa dari STF Driyarkara, anak-anak sekolah Melania. dan orangtua murid. Mereka sangat menggemari masakannya karena enak, murah dan bersih. Terkadang ada pesanan untuk pesta dalam jumlah yang cukup besar, meskipun harus bekerja ekstra, namun harga makanannya tidak bertambah mahal, mungkin hannya ditambah biaya dus. Yang biasanya memesan untuk pesta biasanya mahasiswa STF Driyarkara dan mereka mengambilnya sendiri tanpa diantar.
Dalam setiap pekerjaan pasti ada suka dan dukanya. Sukanya jika sedang banyak pengunjung meskipun capek tetapi penghasilannya lebih banyak. Dukanya jelas jika sedang sepi pengunjung terkadang bisa sampai 6-8 bulan, tetapi setelah itu normal lagi.
Awalya Bu Mariamin berpikir untuk membuat katering, tetapi mengingat tidak ada tempat yang strategis dan biaya belum mencukupi makanya tidak jadi dilaksanakan.
Intisari yang bisa kita petik adalah tidak peduli sekurang apapun kita, tapi setiap pekerjaan yang kita jalani dengan sepenuh hati dapat membuahkan hasil yang baik dan memuaskan. Dan sekurang apapun kita, yang pertama harus kita perjuangkan adalah jenjang pendidikan yang sebagaimana mestinya harus dijalani sehingga di usia dewasa kita dapat membalas apa yang telah dilakukan oleh orangtua yang sudah memeras keringat demi kelangsungan hidup dan kesuksesan anak-anaknya.
Laporan Wawancara Greace dan Marlene x4
Di salah satu jalan sekitar Pasar baru, kami melihat sesosok lelaki tua baru saja selesai menyantap sarapan sederhana dari warung sekitarnya. Sarapan yang tentu saja tidak istimewa tetapi cukup untuk mengisi perutnya dan memberinya tenaga untuk dapat mencari nafkah. Sosok lelaki itupun segera kembali lagi ke gerobak dagangan yang biasa ia pakai untuk berjualan di jalan itu. Telah 10 tahun berlalu semenjak pertama kali ia menggunakan untuk berdagang. Ya, 10 tahun lamanya ia menggeluti pekerjaan itu. Namanya Pak Toha, usianya 52 tahun. Pak Toha asli orang Jakarta tetapi segenap keluarganya yaitu seorang istri dan ketiga anaknya berada di Bojong. Ia sendiri tinggal di sekitar Pasar Baru namun karena kecintaannya pada keluarga, ia tidak pernah absen untuk pulang ke Bojong seminggu sekali.
Perbincangan pun berlanjut. Darinya kami mendapat cerita-cerita yang mengesankan. Menurut Pak Toha, keadaan fisik sekitar ia berjualan tidak banyak berubah tetapi usahanya dulu lebih baik dari yang sekarang. Hal ini disebabkan karena jaman dulu, kantor di Pasar Baru lebih ramai. Untung pun kerap mendatanginya. Seiring berjalannya waktu, daerah itu menjadi lebih sepi padahal kebutuhan yang harus dipenuhi terus bertambah. Barang yang jual antara lain, minuman, rokok, permen maupun cemilan seperti yang dapat kami lihat, rempeyek dan kulit pangsit di toples-toples. Makanan itu ia beli dari orang lain yang membuatnya di sekitar tempat ia berjualan. Penghasilan yang ia dapatkan tidaklah pasti. Kalau hari itu untung berpihak padanya, dapatlah ia menjual banyak minuman maupun camilan. Tetapi tentunya, tidak selalu untung yang berpihak. Di samping itu, sekarang ini telah ada beberapa saingan di sekitarnya.
Pak Toha mengakui, pendapatannya selama ini hanya bisa untuk sekedar mengisi perut dan menyekolahkan 2 anaknya. Pendapatannya tidak dapat ia bilang cukup, tetapi ia selalu mensyukurinya. Dapat kami dengar, berulang kali Pak Toha mengucapkankan Alhammdulilah yang mencerminkan ia sungguh bersyukur di tengah segala kekurangan yang ia miliki.
Pak Toha juga bercerita lebih lanjut mengenai keluarganya. Terdengar ia sangat mencintai keluargnya dan selalu berusaha mencukupi kebutuhan mereka. Ia menjadi kepala keluarga sekaligus tulang punggung keluarganya. Istri Pak Toha tidak bekerja namun ialah yang menjaga ketiga anaknya. Anak yang pertama telah berusia 18 tahun dan berkat kerja keras Pak Toha selama ini, anaknya dapat bersekolah dan tahun ini akan lulus SMA. Begitu juga dengan anaknya yang kedua, sebentar lagi akan masuk SMP. Sedangkan anaknya yang ketiga baru berumur 4 tahun dan belum sekolah. Pak Toha mengakui, baginya sangat berat untuk menanggung segala biaya pendidikan sang anak. Ia berharap, setelah anaknya yang pertama lulus SMA dapat membantunya bekerja dan kalau bisa memperbaiki nasib keluarga mereka . Sungguh harapan yang besar tetapi bukan berarti tidak mungkin terwujud. Hanya saja untuk sekarang ini, mendapatkan kerja adalah hal sulit jadi nasib anak Pak Toha kedepannya belum pasti.
Pak Toha memiliki 3 saudara tetapi yang 2 telah meninggal. Saudaranya yang masih hidup bernasib seperti Pak Toha. Kata ia, bisa disebut keluarga saudaranya juga orang susah. Mereka hanya dapat saling memberi dukungan satu sama lain. Tidak banyak bantuan tunai dapat Pak Toha harapkan dari saudaranya. Bantuan tunai biasa ia dapatkan dari lurah. Yaitu pinjaman 1 juta rupiah, yang harus ia kembalikan sekitar 94 ribu rupiah per bulannya selama 10 bulan. Uang itu ia pergunakan untuk modal ia berdagang maupun memenuhi kebutuhannya. Berbicara tentang modal, kesulitan terbesarnya dalam berjualan adalah karena modalnya yang sedikit. Kalau saja ia memiliki modal yang cukup, katanya, ia sangat ingin dapat memperbesar usahanya. Ia ingin memindahkan dagangannya ke tempat yang lebih ramai sehingga keuntungan yang ia dapatkan pun lebih banyak. Karena belum cukup modal Pak Toha, ia hanya dapat berjualan seadanya.
Di antara ia dan pedagang lainnya tidak ada masalah. Hanya saja, mereka terpaksa tidak dapat berjualan tidak dapat mencari nafkah apabila petugas kamtib dating untuk membersihkan daerah tersebut. Untungnya, sebelum petugas tersebut dating, Pak Toha selalu mendapat informasi sehingga ia dapat berjaga-jaga dan dagangannya aman dari penggusuran. Kami juga ingin menyampaikan pesan Pak Toha kepada pemerintah. Ia berharap pemerintah mau memberi bantuan dan bantuan tersebut haruslah jelas. Berikan modal untuk para pedagang kecil sepertinya. Selain itu, bantuan juga dapat berbentuk keringanan dalam biaya pendidikan anaknya.
Sungguh pengalaman yang luar biasa dapat mendengar kisah hidup Pak Toha yang penuh liku tetapi juga penuh syukur. Kami salut karena Pak Toha dapat tetap bersyukur di antara kesulitannya.
Refleksi
Setelah mendapat tugas ini, mata saya dibukakan untuk melihat kemiskinan yang ada disekitar saya. Sering kali kita merasa bahwa hidup kita sudah enak, maka pada akhirnya kita tidak mempedulikan orang lain yang ada disekitar kita. Kita mungkin terlalu egois dan tidak mau melihat kebawah, melihat betapa miskin nya dunia ini. Sehingga akirnya mata kita dibutakan dan menjadi tak peduli terhadap sekeliling kita lagi. Padahal mereka sangat membutuhkan kita. Tuhan menciptakan ada yang kaya dan ada yang miskin. mengapa demikian? Supaya yang kaya dapat saling berbagi dengan yang miskin. Agar hidup mereka saling berdampingan dan saling membantu.
Pekerjaan menyemir sepatu, sepertinya merupakan pekerjaan yang tidak penting dalam kehidupan di
Dan saya percaya bahwa setiap orang diciptakan oleh Tuhan menurut gambar dan rancangan sesuai kehendakNya dan rancanganNya pasti akan mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang mengasihinya. Maka walaupun Pak Yanto hidup dengan susah payah dan harus bekerja keras, dibalik semua itu ada suatu pesan tersendiri baginya.
Dan untuk kita, kita haruslah menjadi orang yang mengasihi sesama, dengan tidak pandang bulu, mengasihi yang kaya maupun yang miskin, agar orang miskin pun tidak merasa direndahkan martabatnya dan mereka tetap percaya dan menjalankan hidup dengan baik…
Oleh :
Refleksi pribadi
Melalui cerita dari Yanto, pedagang bakso tersebut, kita dapat melihat bahwa menjalani hidup ini tidaklah mudah. Butuh perjuangan di dalamnya. Ia harus berkeliling di jalan sepanjang hari untuk mendapatkan uang untuk menghidupi ibu, adiknya, serta dirinya sendiri. Ia juga nampak dengan senang hati menjalani ini semua. Tak merasa menjadi beban. Tuntutan keadaan dan harga-harga kebutuhan yang terus naik juga semakin mempersulit mereka.
Mungkin bagi kita yang kehidupannya berkecukupan, mendapatkan uang merupakan hal yang mudah. Mau makan, mau beli baju baru, tas baru, dan lain-lain tak perlu lama-lama berpikir untuk membelinya atau tidak. Sedangkan Yanto perlu berpikir berkali-kali untuk mendapatkan kesenangan tersebut.
Setelah mewawancarai pedagang bakso tersebut, saya semakin menyadari arti menghargai orang lain dan bersyukur atas semua yang saya miliki. Karena saya memiliki kehidupan yang lebih baik dari orang lain. Saya belajar dari ketegarannya. Kita tidak boleh mudah mengeluh dan putus asa. Selain itu saya juga belajar bahwa sebagai anak, kita wajib untuk berbakti dan menghormati orang tua kita yang sudah membesarkan kita.
Yanto memang miskin dalam hal keuangan. Tetapi ia tidak miskin dalam cinta kasihnya kepada keluarganya. Karena demi keluarganya ia rela bekerja keras dan berkorban.
Kerja Keras untuk Hidup : Yanto, Penjual Bakso Keliling
Jalanan agaknya lebih sepi dibanding biasanya pada hari Kamis, 24 April 2008. Mungkin sore-sore begitu belum banyak orang yang pulang kerja dan anak-anak muda yang biasanya nongkrong di daerah sana belum mulai melakukan aktivitasnya. Kami yang baru saja pulang sehabis melakukan tugas kelompok Kimia, saat itu sedang pusing-pusingnya memikirkan tugas wawancara religiositas kami sambil berputar-putar di sekitar komplek untuk sekedar melihat siapakah yang bisa dijadikan sasaran untuk wawancara dadakan. Dan tiba-tiba seperti mendapat "bantuan" dari atas, ,(hahaha), kami melihat sesosok tubuh berkemeja putih dan bertopi merah dengan gerobaknya di depan rumah salah seorang tetangga. Tanpa ba bi dan bu lagi, orang itu langsung kami jadikan target wawancara di sore yang mendung itu, dan dengan sedikit terburu-buru kami masuk ke rumah untuk mengambil dompet. Yah, kami berpikir akan lebih baik jika kami membeli paling tidak seporsi makanan apa pun yang dijadikan barang dagangannya (karena jaraknya agak jauh tidak terlihat dengan jelas apa yang dijualnya). Dan setelah melihat-lihat isi dompet, kami segera meluncur ke tempat ia berdiri bersama gerobak putih kesayangannya.
Tak ada semenit kami tiba di tujuan dan pertanyaan kami terjawab. Ia menjual bakso dengan berbagai variannya. Ada pangsit goreng, siomay, bihun dan mie sebagai pelengkap. Di sana, setelah sedikit basa-basi di awal pembicaraan, kami memutuskan untuk membeli sebungkus bakso untuk dibawa pulang. Memakai trik "bertanya secara alamiah" yang disamarkan menjadi ngobrol-ngobrol sekilas, kami tahu bahwa ia bernama Yanto. Kemudian diselingi kalimat, "Berapa porsi?", atau "Pakai seledri?" kami bertanya-tanya sedikit tentang hasil jualannya hari itu. Ia menjawab sambil sedikit tertawa, kalau hari itu belum terlalu banyak yang terjual, namun ia tak menyebutkan secara pasti berapa jumlah yang sudah terjual. Biasanya, ia mampu menjual hingga 20 mangkuk, namun tidak semuanya terjual dengan harga 5000 rupiah per porsinya, karena ada juga yang hanya membeli dengan harga 3000 atau 4000 rupiah. Sebetulnya dalam hati kami sudah berpikir bahwa itu lumayan banyak jika dihitung-hitung, sayangnya pikiran itu langsung menghilang setelah ditepis kalimat berikutnya, "Yah, tapi untungnya hanya sekitar 1500 per mangkok...Dulu sih hampir 2000an, tapi bahan-bahan harganya sudah naik, Non... Dan kalau harga baksonya dinaikkan juga, rasanya jadi kemahalan..." . Baiklah, anggap saja ia berhasil menjual semua mangkuk dengan harga 5000rupiah, keuntungannya pun hanya sekitar 30ribu rupiah. Jadi ingin membeli lebih,
Yanto belum menikah tetapi ia menjadi tulang punggung keluarga bagi ibu dan adiknya. Dengan keuntungan yang ia peroleh, ia harus memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya serta membayar uang sekolah bagi adiknya. Sebenarnya kebutuhan keluarganya belum tercukupi dengan baik, apalagi dengan harga bahan sembako yang terus naik. Namun keluarganya meminimalkan segala kebutuhan yang harus dikeluarkan agar semuanya dapat terpenuhi.
Dan sekarang, Yanto hanya bisa berharap agar suatu hari nanti kehidupannya akan menjadi lebih baik lagi dari kehidupannya yang sekarang. Pembicaraan kami terhenti karena bakso kami sudah siap, karenanya kami segera membayar seraya mengucapkan terima kasih, bukan hanya untuk baksonya, tapi juga atas kesediaannya menceritakan sekilas mengenai kehidupannya.
Friday, April 25, 2008
Kisah Seorang Penyapu Jalan
Dalam liburan kali ini, kami mendapat tugas religiositas untuk mewawancarai seseorang narasumber yang merupakan salah satu orang tak mampu di Jakarta ini. Ketika kami sedang asyik jalan-jalan mengitari kompleks perumahan, kami menemui seorang ibu yang cukup tua, Namanya adalah Ibu Kusnah. Beliau adalah seorang penyapu jalan di daerah Kelapa Gading, tepatnya di Perumahan Gading Arcadia. Ia mempunyai 2 orang anak dan seorang suami. Ia lahir di Cirebon, tanggal 28 juli 1968. Kira-kira beliau telah berumur 40 tahun.
Ibu Kusnah mengaku bahwa untuk bertahan hidup di Jakarta sangatlah sulit, apalagi dengan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat. Ibu Kusnah merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya sebagai tukang sapu itu, namun, biar bagaimanapun Ibu Kusnah harus tetap bekerja untuk mencari nafkah, karena suaminya adalah seorang pengangguran sehingga tidak mungkin kalau ia tidak bekerja. Kalau ia tidak bekerja, keluarganya tidak bisa makan, tidak bisa sekolah dan tentunya tidak bisa bertahan hidup hingga sekarang ini. Tidak ada seorangpun yang suka menjadi penyapu jalan, namun hanya inilah pekerjaan yang bisa dilakukan oleh ibu tersebut.
Ibu Kusnah tinggal di sebuah rumah yang menurut kami tidak layak untuk ditinggali, karena menurut ceritanya,, Ibu Kusnah tinggal di sebuah rumah dengan dinding yang terbuat dari triplek dan atap dengan genting seadanya. Lantainya pun tidak dikeramik,, melainkan hanya tanah kosong begitu saja. Setiap malam, Ibu dengan 2 orang anak itu tidur dalam satu tempat tidur. Mereka tidur beramai-ramai, meskipun berdempet-dempetan, karena sudah tidak memiliki cukup uang untuk membeli sebuah tempat tidur. Rumahnya sangat sempit,, semua aktivitas dilakukannya disitu, memasak,, tidur,, mencuci,, smuanya…
Uang hasil kerja yaitu 300 ribu rupiah perbulan, digunakan untuk membayar sekolah anak-anaknya, juga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti makan, ke pasar, dan kebutuhan lainnya seperti minyak goreng, sabun cuci, dan sebagainya. Ibu Kusnah berkata bahwa uang sebesar 300 ribu sebenarnya tidak cukup untuk kebutuhan keluarganya itu, namun mereka harus berupaya untuk mencukupi itu semua, karena mereka tidak memiliki penghasilan lainnya.
Ibu Kusnah sangat sedih kalau melihat anak-anaknya makan nasi dengan tahu/tempe saja setiap hari. Sebenarnya kalau ia memiliki uang yang lebih ia ingin sekali membelikan anaknya itu daging untuk dimakan. Karena mereka hanya makan daging kira-kira setahun sekali ketika ada penyembelihan kurban.
Itulah kisah Ibu Kusnah yang merupakan seorang penyapu jalan.
Jennifer-10 dan Yosella-32
Setelah mewawancarai Ibu Kusnah, saya lebih mensyukuri kehidupan yang sedang saya jalani ini. Sering kali saya mengeluh terhadap apa yang telah saya dapatkan dalam hidup ini. Terkadang saya lupa untuk mensyukuri segala karunia yang telah Tuhan limpahkan kepada saya. Saya suka malas belajar, kurang menghargai makanan, dan lain sebagainya. Saya tidak menyadari bahwa masih banyak orang-orang yang mengharapkan makanan, sekolah, dan kehidupan yang lebih layak, seperti Ibu Kusnah misalnya.
Namun, setelah saya mendengarkan cerita darinya, saya pun menyadari bahwa saya jauh lebih beruntung dari anak-anak Ibu Kusnah. Saya masih bisa makan sampai kenyang, bersekolah di sekolah yang bagus, punya baju bagus, dan masih banyak lagi. Ternyata, berkat Tuhan sangat berlimpah dalam hidup saya. Saya pun berterima kasih kepada Tuhan dan berjanji akan selalu mensyukuri dan menghargai hidup saya.
Cerita dari seorang kuli bangunan
Kami mewawancarai seorang kuli bangunan, yang sedang bekerja di rumah tetangga Pavita. Namanya adalah Ujang. Ujang berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Ia datang ke Jakarta, karena melihat keberhasilan teman-temannya yang lebih dulu berangkat ke Jakarta. Di desanya, ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dengan latar pendidikan yang hanya tamat sampai bangku SMP, ia adalah seorang pekerja serabutan yang hanya membantu bila ada tetangganya yang meminta tolong dalam menggarap sawahnya.
Setibanya di Jakarta, dengan modal nekad dan niat yang kuat, ia hanya bisa terpana melihat Jakarta. Jakarta terlalu jauh dari yang ia bayangkan. Pada awalnya, ia hanya tinggal seadanya, di pinggir jalan, atau menumpang di masjid. Sampai akhirnya, ia bertemu seorang kawannya yang bekerja sebagai tukang bangunan. Kawannya itu mengajaknya bekerja menjadi seorang kuli bangunan. Walau penghasilannya tidak seberapa, tapi setidaknya ia dapat bertahan hidup dan dapat memenuhi kebutuhan seadanya. Ia pun dapat tinggal di tempat yang bisa dikatakan cukup layak, misalnya proyek tempatnya bekerja, atau menyewa kamar bersama teman-temannya di dekat proyek tersebut.
Ujang memiliki harapan yang cukup sederhana. Yakni, ia hanya ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Walaupun, mungkin belum sekarang saatnya. Setelah 2 tahun ia berprofesi sebagai tukang bangunan, ia mendapat penghasilan sekitar 25 sampai 30 ribu per hari. Biaya segitu dikatakannya sudah cukup untuk membiayai hidupnya. Sebagian penghasilannya, ia kirimkan ke desanya untuk membantu biaya pengobatan ayahnya yang sedang sakit. Ia selalu menghemat segala pengeluarannya. Untungnya, dia belum berkeluarga sekarang. Ia masih ingin bekerja lebih giat lagi dan berharap menemukan pekerjaan yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Pavita X4/23
Mas Ujang, hanya dengan modal niat dan nekad saja, dia berani melakukan suatu hal besar. Ia berani melakukan suatu perubahan dalam dirinya. Ia berani untuk berharap, dan ia berani untuk bermimpi. Ia mencoba dan mau menerima segala resiko, entah baik atau buruk adanya. Ia telah berhasil melakukan suatu langkah yang berarti dalam hidupnya. Kita lihat saja, dulu, ia seorang pekerja yang bahkan tak pasti arah hidupnya. Sekarang, ia mempunyai penghasilan, dan bahkan dapat membantu pengobatan ayahnya, entah dengan pekerjaannya sebagai tukang bangunan.
Kita semua harus berani bermimpi. Kalau kita punya keinginan, disitulah kita punya jalan. Tidak semua orang dapat menjalani pahitnya hidup. Kebanyakan, mereka hanya pasrah tanpa melakukan suatu perubahan. Saya kagum dengan sikapnya. Dengan keadaannya yang bisa dikatakan pas-pasan, dia pun masih mempas-paskan uangnya demi kepentingan yang dianggapnya jauh lebih penting yakni nyawa ayahnya. Orang yang bisa dikatakan jauh lebih beruntung daripadanya saja, pasti banyak yang hanya duduk berdiam diri, berpasrah kepada Tuhan, bukan. Marilah kita semua bermimpi, karena tidak ada kata tidak bisa. Kita semua bisa, kita semua mampu.
Nini X4/27
Saya menjadi merasa lebih bersyukur terhadap hidup ini. Dalam kehidupan ini, kita tidak boleh selalu menoleh ke atas, tetapi, kita juga harus melihat ke bawah. Sari sikap Mas Unang, saya merasa semangat dan keinginan mulia membahagiakan orang tuanya itu bisa menjadi panutan bagi kita. Mas Ujang memperlihatkan sikap yang seharusnya seorang anak lakukan untuk orangtua. Dia berusaha untuk membantu pengobatan ayahnya,walaupun dengan biaya yang dia cari sendiri dengan keringatnya sendiri. Saya juga melihat bahwa banyak sekali masyarakat yang masih hidup di garis kemiskinan. Namun, semangat mereka tetap tinggi untuk menjalani hidup ini. Mereka selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Saya sangat kagum kepada mereka yang tetap berusaha bekerja secara halal, bukan meminta-minta dan mengemis saja.
Kita bisa belajar dari mereka. Sebesar apapun maslah yang dihadapi oleh kita, kita harus selalu berusaha menyelesaikannya. Mereka juga selalu bersyukur, apapun yang didapatnya hari itu. Ini membuat saya menjadi benar-benar bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Saya juga semakin mengetahui karya Tuhan yang ada di dalam hidup saya. Saya juga menjadi berusaha lebih mandiri dan tidak merepotkan orangtua, saya juga ingin memberikan yang terbaik yang ada bagi kedua orangtua saya. Akhir kata, saya ingin berpesan, bahwa kita juga harus peduli kepada orang-orang yang kurang mampu, karena sebenarnya, tanpa kita ketahui mereka terkadang, jauh lebih bersyukur daripada kita.
Refleksi Pribadi: Pengalaman bersama Ibu Wasmi
Saya sangat salut akan perjuangan beliau. Lewat Ibu Wasi sayasadar bahwa mencari uang tidaklah mudah. Perlu perjuangan untuk mendapatkan uang. Oleh karena itu sekarang saya menjadi lebih berpikir lagi untuk mengeluarkan uang.
by. Ade (X4-19)
Refleksi Pribadi: Semakin Dekat dengan Kehidupan Penuh Realita
Bersama dengan Ibu Wasmi, dari saya sendiri, saya diajak untuk masuk ke dalam dunia beliau sendiri. Apa yang saya simak dari perkataannya membuat saya terus ingin sekali mengetahui lebih banyak lagi. Kadang kala saya melihat mukanya menerawang sendiri. Mungkin di saat itu dia sedang memikirkan apa yang sedang ia baru saja ucapkan itu.
Hati saya benar-benar tersentuh dengan pengalaman mewawancarai Ibu Wasmi. Saya sangat BERSYUKUR karena Ibu Wasmi benar-benar terberkati kehidupannya sehingga walaupun berada di tingkat ekonomi yang rendah, ia masih bisa bertemu dengan keluarganya tiap tahun, makan tiap hari, dan memiliki kegiatan yang ia sendiri tidak keberatan untuk melakukannya tiap hari.
Apa yang dapat saya ambil dari pengalaman saya ini, kemiskinan di Indonesia memang sudah menjadi berita langganan di setiap surat kabar bahkan di setiap telinga orang banyak. Saya berharap kemiskinan di Indonesia dapat segera berakhir. Dengan itu pun, saya ingin sekali ikut serta di dalam menghapus kemiskinan di masa mendatang!!!
by. Aurora Esterlia
X4-4
Bertemu Ibu Wasmi, Penjual Getuk Pasar Baru
Sekitar 10 menit kami terus menelusuri jalanan di Pasar Baru, hingga pada akhirnya kami mulai merasa putus asa. Kami pun akhirnya memutuskan kembali ke sekolah. Dari ujung pasar kami kembali ke ujung pasar yang lain. Sesaat kami ingat, kami melihat seorang ibu tukang jamu sedang duduk di ujung jalan itu. Segera kami mencoba mendatanginya. Sayangnya, sesaat kami hampir sampai di tempat, ibu tukang jamu itu sudah menggendong bakul jamunya dan berjalan berlawanan arah dengan kami. Kami segan untuk memanggilnya kembali, oleh karena itu kami hanya meneruskan perjalanan kami.
Di seberang jalan tempat ibu tukang jamu itu baru saja singgah, kami melihat ibu-ibu yang berpenampilan sama dengan ibu tukang jamu itu dan sedang mengurusi barang dagangannya yang juga ditaruh di dalam bakul-bakul. Semula kami tidak tahu ibu itu berjualan apa dan kami pun juga masih segan untuk mendatangi ibu itu. Namun pada akhirnya kami memberanikan diri untuk mendekatinya. Kami pun mendekatinya. Gagasan kami mula-mula mungkin ibu itu berjualan Pecel. Setelah kami mendekatinya, ibu itu sedang menyelesaikan pesanan seorang bapak-bapak yang sedang duduk di sebelahnya. Ternyata ibu itu tidak menjual Pecel namun hal lain yang kami tidak tahu.
Kami pun memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu itu, ”Permisi,Bu. Ibu itu apa?”. Muka ibu itu masih tetap sibuk dengan jualannya namun sambil menjawab, ”Ini...Getuk.”. Kami pun bertanya lagi, ”Satu porsinya berapa, Bu?,” Ibu itu pun menanggapinya dengan meembuat dua jari ke arah kami. Kami menjadi bingung dan kami bertanya lagi, ”Berapa, Bu?” . Jawabnya,” 2000.” Akhirnya kami membeli satu porsi Getuk yang dijual ibu itu. Kemudian kami pun mulai mencoba untuk bertanya kepada sang ibu, ”Permisi,Bu. Kami boleh tanya-tanya tidak,Bu?”. Ibu itu pun malah kembali bertanya, ”Tanya-tanya soal apa?”. Terlihat sang ibu malah menjadi takut. Kami pun langsung menjawab, ”Iya...kami ingin bertanya tentang pekerjaan ibu,” sambil memasang senyum lebar. Ibu itu pun akhirnya mau diwawancarai.
Nama beliau adalah Ibu Wasmi. Beliau berumur 39 tahun dan lahir pada tanggal 10 November 1964. Kami mengetahuinya dengan melihat KTP yang beliau persilahkan untuk dilihat oleh kami. Beliau berasal dari Indramayu. Beliau ke Jakarta sebelum tahun 2000 dan dijelaskan bahwa saat itu belum ada jalan layang untuk kereta api oleh beliau. Saat itu beliau diajak ke Jakarta oleh ”Bos”,untuk ikut bekerja jualan Getuk. Awal-awal beliau berjualan di Jakarta, barang-barang dagangan yang beliau dapat tidak dibuat sendiri melainkan didapat dari ”Bos”-nya itu. Namun pada akhirnya sekarang ini beliau sudah dapat membuat Getuk sendiri dan terlepas dari ”Bos”. Beliau tinggal di daerah Tanjung Priok, Jalan Kalibaru Barat, Gang Manggis. Beliau membuat Getuk dengan mendapat bahan dari tetangganya yang menjual bahan-bahannya itu. Penghasilan beliau hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, makan dan membeli bahan membuat Getuk itu sendiri. Tiap harinya penghasilan yang ia dapat berkisar 100.000. Uang tersebut digunakan kembali untuk biaya membuat Getuk, sehingga pendapatan bersih yang ia peroleh kurang lebih hanya 15000. Kegiatan beliau tiap harinya adalah, tiap pagi, sekitar pukul setengah enam bersama dengan barang dagangannya, beliau berangkat dari Tanjung Priok ke Pasar Baru tiga kali naik turun kendaraan umum. Seharian beliau menggendong bakulnya dan menelusuri jalanan Pasar Baru yang cukup luas itu hingga sore hari. Sore harinya, beliau pun pulang kembali ke Tanjung Priok. Beliau tinggal di sekitar kontainer-kontainer yang ada di sana. Sesampai di rumah, beliau langsung ke rumah tetangganya membeli bahan untuk membuat Getuk. Namun beliau kembali ke rumah dan beristirahat. Beliau baru memulai membuat Getuk itu sekitar pukul 1 dan 2 pagi. Beliau pun harus menunggu agar Getuk itu benar-benar pulen selama berjam-jam kemudian.
Beliau telah menikah dan memiliki 5 orang anak, 2 anak perempuan dan 3 anak laki-laki. Namun salah satu anak laki-lakinya meninggal sehingga beliau tinggal memiliki 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Seluruh keluarganya maupun suaminya tinggal di kampung. Sekarang ini anak-anak perempuannya telah menikah, mengikuti suami-suami mereka, dan memberikannya 2 orang cucu. Setiap tahun, beliau pasti selalu pulang ke Indramayu menengok keluarganya. Biasanya setiap masa-masa Ramadhan.
Hal terakhir yang kami tanyakan adalah mengapa beliau mau bekerja menjadi seorang penjual Getuk. Beliau pun menjawab karena hanya itu yang dapat beliau lakukan. Beliau bahkan tidak dapat membaca dan menulis. Demikian pertanyaan kami mengenai keluarganya pun berakhir. Kami pun merasa sudah cukup lama kami mewawancarai beliau. Kami juga melihat beliau telah siap-siap untuk kembali menggendong bakulnya itu. Namun sebelumnya kami pun meminta untuk berfoto bersama. Namun tiba-tiba sang Ibu berkata, ” Aduh! Untuk apa? Nanti saya diapa-apain..”. Ternyata sang ibu itu masih merasa takut. Kami pun berusaha untuk meyakinkan sang ibu bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Kami pun menjelaskan bahwa ini adalah tugas dari sekolah dan bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Pada akhirnya kami berhasil membuat sang ibu mau untuk difoto. Namun karena kami hanya berdua dan kami segan meminta tolong orang-orang di sekitar kami, kami memutuskan untuk berfoto sendiri-diri dengan bergantian memfoto. Tidak lupa kami memfoto sang ibu sendiri bersama dengan bakul-bakulnya. Selesailah sudah wawancara kami dan kami berpamitan dengan sang ibu penjual Getuk itu. Kami meyalaminya dan meminta pamit. Ibu itu pun pergi sambil menggendong bakulnya dan berjalan berlawanan arah dengan kami. Kami pun kembali ke sekolah.
Pak Yanto "Tukang Semir Sepatu"
Pada hari jumat kami mencari orang yang bisa diwawancarai di dekat rumah Lydia. Sewaktu kami sedang berjalan-jalan mencari orang yang bisa diwawancarai, kami melihat seorang bapak yang sedang duduk di pinggir jalan, dengan sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Pertama-tama kami tidak berani mendekatinya, tetapi akhirnya kami memberanikan diri untuk bertanya kepada bapak tua itu. Ternyata,ia adalah seorang tukang semir sepatu. Beliau bernama suyanto yang bekerja setiap hari, berangkat dari rumah pukul 8 pagi. Beliau pergi bekerja dengan mengandalkan kotak semir sepatunya. Pak yanto tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Istrinya yang bernama sutinem yang hanya bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Sedangkan dua orang anaknya baru berumur 6 dan 10 tahun. Dan yang satu lagi sudah besar dan tidak tinggal bersamanya.
Setiap hari Pak yanto hanya mendapatkan pengahasilan yang tidak menentu tergantung dengan banyaknya sepatu yang ia semir pada hari itu. kurang lebih ia hanya mendapatkan uang sekitar Rp. 15.000,00 – Rp. 20.000,00 / hari. Ia merasa belum bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sedangkan penghasialan istrinya pun belum juga bisa menutup kerukarangan kebutuhan hidup keluarganya.
Anak pertamanya yang masih berumur 15 th sudah berkerja menjadi seorang pembantu rumah tangga di sebuah keluarga, dan tidak lagi tinggal bersamanya. Akan tetapi tanggungan hidunya masih belum juga berkurang, karena ia harus menyekolahkan kedua anaknya yang masih bersekolah di sd. ia tidak bisa membayar uang masuk smp untuk anaknya yang akan lulus tahun ini. Maka anaknya pun tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena beban biaya yang tidak bisa ia tanggung lagi.
(REFLEKSI PRIBADI) REVA, RINI, ALDA: antara ngamen, lelaki, dan perempuan
Kehidupan mereka sungguh memprihatinkan bagi saya. Karena umur mereka yang masih terbilang muda, seharusnya bisa membantu keluarga mereka dengan pekerjaan yang lebih layak seperti cleaning service. Namun karena keterbatasan pendidikan baik di sekolah maupun pendidikan moral menyebabkan mereka terjerumus ke dalam dunia yang mungkin sebenarnya mereka tak ingini. Seperti yang dialami oleh Rini salah satu waria yang mengaku bahwa pekerjaan ini dilakukannya karena terpaksa untuk membantu ekonomi keluarganya walaupun sampai sekarang kedua orangtuanya belum mengetahui tentang keseharian anaknya ini.
Dari percakapan singkat yang saya lakukan bersama dengan Triska beberapa hari yang lalu, saya menyadari bahwa banyak orang di sekitar kita yang juga hidup dalam keterbatasan. Bahkan sampai melakukan hal tabu demi mencari uang untuk mendapatkan sesuap nasi. Terkadang kita masih sering mengeluh di saat apa yang kita ingini dan kita perlukan tidak bisa terpenuhi. Padahal di luar sana dan yang juga ketiga waria itu alami, belum tentu mereka bisa makan tiga kali sehari seperti yang biasa kita lakukan. Hal ini membuat saya tersadar bahwa seharusnya kita bersyukur dengan apa yang kita punyai dan harus bisa menerima kekurangan . Seperti halnya kata pepatah bahwa manusia hidup tidak akan pernah puas begitulah juga dengan kita alami di masa sekarang. Walaupun satu kebutuhan kita terpenuhi nantinya akan muncul lagi kebutuhan – kebutuhan lain yang tiada henti. Saya menjadi lebih berpikir untuk menerima dan mensyukuri apa yang telah saya miliki sekalipun saya masih selalu merasa kekurangan.
Tidak hanya rasa syukur yang saya dapatkan, tetapi juga rasa untuk menerima adanya perbedaan di tengah – tengah kita. Saya yang menganggap tadinya waria adalah kaum terbuang sekarang menjadi lebih menyadari bahwa mereka juga adalah kaum yang perlu dihargai. Selain karena usaha keras mereka untuk menghidupi diri,juga usaha mereka untuk dapat diterima di masyarakat yang kebanyakan memandang mereka sebelah mata.
Hal lain yang saya dapatkan adalah ketika mereka menganggap sebuah tantangan menjadi sesuatu yang menyenangkan membuat saya tersadar untuk bisa menjalani hidup ini dengan bahagia dan menganggap hidup adalah suatu kesempatan di mana kita harus menjalaninya dengan suka cita, menganggap tantangan atau kesedihan sebagai bumbu sehingga hidup bukan sekedar hidup yang rasanya hambar. dan menurut saya, kemiskinan bukanlah menjadi sebuah alasan di mana seseorang menjadi terpuruk dan tidak bisa tegak berdiri menjalani hidupnya dengan gembira seperti yang saya simpulkan dari ketiga waria tersebut dalam menjalani kesehariannya.
Thursday, April 24, 2008
Refleksi Pribadi : Menyadari arti kehidupan sesungguhnya
Karena selama ini, ketika saya ingin makan, semua makanan sudah tersedia di atas meja makan, tanpa saya harus melakukan suatu perbuatan yang berarti. Tapi terkadang saya masih juga tidak bersyukur, karena makanan tersebut kurang enak, dan saya pun memutuskan untuk tidak makan makanan tersebut, bahkan meminta pembantu saya untuk memasakkan makanan lainnya.
Saya juga terkadang kurang bersyukur dengan segala sesuatu yang telah diberikan orang tua saya kepada saya. Saya merasa kurang puas dengan segala yang sudah saya miliki, dan selalu menuntut yang lebih baik lagi, yang lebih baru lagi. tanpa mengingat kebutuhan orang lain yang lebih membutuhkannya. Dan ketika permintaan saya tersebut tidak dipenuhi, saya menjadi marah kepada kedua orang tua saya dan ingin sekali rasanya menjauhi mereka.
Tapi, saya mulai mengenal Pak Toha melalui tugas wawancara ini. Pak Toha yang dalam hidupnya yang tidak bisa dikatakan cukup, ia selalu bersyukur atas apa yang di dapatkan hari itu, entah uang itu hanya cukup untuk kebutuhannya hari itu atau bahkan cukup untuk menabung biaya kuliah anak pertamanya dan biaya sekolah anak keduanya. Ia bahkan hidup jauh dari keluarganya, namun ia bersyukur karena masih dapat melepaskan rasa rindunya dengan pulang seminggu sekali ke rumahnya di Bojong. Saya kagum atas kerja keras dan perjuangan Pak Toha untuk dapat menghidupi kehidupannya dan keluarganya.
Dengan mendengar cerita tersebut, saat itu pula saya menjadi sadar, bahwa selama ini saya tidak pernah bersyukur akan semua yang saya miliki. Saya merasa malu karena saya selalu kurang bersyukur atas hidup saya selama ini, padahal di luar sana masih banyak orang yang tidak seberuntung saya.
Oleh karena itu, mulai saat ini saya akan lebih mensyukuri akan segala sesuatu yang saya miliki, lebih mensyukuri hidup saya ini, lebih menghargai orang tua dengan segala perjuangan, kerja keras dan jerih payah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dan lebih peduli kepada orang yang tidak seberuntung saya sesuai dengan kemampuan saya.
Sekarang: Sadar dan Bersyukur !!
Tak pernah terbayang oleh saya, untuk hidup seperti sekarang. Hidup dengan segala kecukupan. Lain dengan kehidupan pak Elan jelan yang perlu bekerja keras untuk hidup. Sejak saya tinggal di Jakarta, saya tidak pernah mendengar pekerjaan “pembuat perahu”. Mungkin bila waktu itu bu Cicil tidak memberikan saya tugas ini, dan bila teman saya tidak mengajak saya untuk ikut SSVC untuk mengajar anak-anak di perkampungan nelayan, mungkin saya tidak pernah sadar akan pekerjaan Elan Jelan. Menurut saya pekerjaan di Jakarta kebanyakan hanya yang berhubungan dengan perkantoran. Tapi, setelah pergi ke perkampungan nelayan itu, saya begitu kaget. Melihat masih ada seorang pembuat perahu. Saya begitu terkesan dengan kisah hidup pak Elan Jelan itu, ia harus melewati jalan yang berliku-liku hingga bisa menjadi seorang pembuat perahu, dan tetap terus bertahan lagi. Karena biasanya, orang di Jakarta akan cenderung untuk pindah ke pekerjaan lain yang lebih baik.
Saya sadar dan sangat bersyukur karena saya hidup jauh lebih baik dari mereka. Melihat anak-anak yang ikut dalam SSVC, mengajar mereka, saya merasa sangat beruntung. Selama ini saya kurang bersyukur akan apa yang saya miliki, dan tidak memperlakukan apa yang saya miliki dengan baik, saya berbuat sesuka hati saya, tapi sejak melihat mereka, saya saya sadar untuk tidak memperlakukan apa yang saya punya sesuka hati saya lagi. Mereka melihat pensil mekanik saja sangat bingung, dan dengan kepolosan mereka membuat saya merasa malu. Karena barang yang saya miliki terlihat begitu “wah” di mata mereka. Tapi, saya menganggap barang yang saya punya itu biasa saja. Sungguh berbeda!
Maka itu mulai sekarang saya akan lebih menghargai jerih payah orang tua saya karena melihat kerja keras pak Elan Jelan, dan saya akan terus mengucap syukur pada Tuhan atas segala rejeki yang saya terima.
oleh: Stevanny W. x4/28
Elan Jelan “si Pembuat Perahu”
Di dunia ini, kehidupan manusia tidak ada yang sama. Ada yang memiliki kekayaan yang lebih tapi ada juga yang kurang. Terkadang seorang yang kaya bisa berbalik 1800 menjadi miskin, itu semua misteri Tuhan. Tetapi, bila kita mau terus mengusahakan yang terbaik maka kehidupan kita pun akan jadi lebih baik.
Jakarta, kota metropolitan sekaligus ibukota negara Indonesia penuh dengan hingar bingar kemewahan dan modernisasi di segala bidang. Semua aktifitas pemerintahan terjadi di Jakarta. Di tengah semua kenyamanan dan kenikmatan yang kita dapat, masih ada orang yang tak bisa merasakan hal itu.
Seperti pak Elan Jelan, seorang pembuat perahu yang tinggal di daerah perkampungan nelayan, Cilincing, Jakarta Utara. Ia lahir di kampung halamannya, Indramayu. Di usia 14 tahun, ia berhenti sekolah. Sejak saat itu, ia mulai membantu ayahnya yang bekerja sebagai pembuat perahu.
2 tahun kemudian, pak Elan Jelan dan orangtuanya pindah ke Jakarta. Setelah orangtuanya meninggal, ia yang meneruskan usaha ayahnya. Dalam pengembangan usahanya ini, ia pernah mengalami hambatan, saat menghadapi krisis moneter, dan ia pun bangkrut. Ia sempat menganggur dan akhirnya terpaksa menjadi seorang tukang batu di sebuah pertambangan. Walau sudah bekerja keras, penghasilannya ini masih tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka ia pun memutuskan untuk bekerja sebagai ‘kenek’ tukang bangunan, karena penghasilannya sedikit lebih baik.
Setelah beberapa tahun, ia berhasil mengumpulkan modal untuk kembali menggeluti pekerjaan awalnya sebagai pembuat perahu. Ia memulai usahanya sendirian dan lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sampai sekarang pun ia masih menjadi seorang pembuat perahu, pekerjaan yang hampir jarang ditemukan di Jakarta.
Sampai sekarang ia telah memiliki 4 anak. Kebutuhan hidup terus mendesak mengakibatkan anak lelaki pertamanya harus putus sekolah dan hanya mengeyam pendidikan sampai SD. Ketiga anaknya yang lain pun tidak bersekolah. Sungguh malang nasib pak Elan Jelan.
Harga tiap perahu berkisar 8 jutaan, tapi permintaan akan pembuatan perahu tidak datang terus menerus. Penghasilannya itu belum bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sekarang. Belum lagi bahan-bahan seperi kayu, harus ia siapkan sendiri. Tak jarang pak Elan Jelan merugi akibat permintaan konsumen yang berubah-ubah.
Untung saja,ada sebuah les gratis yang diberikan oleh anak-anak SMA Santa Ursula sehingga ketiga anaknya yang tidak bersekolah itu bisa sedikit merasakan pendidikan.
Demi terus berusaha memperbaiki perekonomian keluarganya, pak Elan Jelan yang hanya dibantu oleh satu anak lelakinya itu, rela pergi ke luar kota sperti Blitar, Jawa Tengah, Cianjur, dan Tangerang demi mengejar pekerjaan. Sekarang yang terpenting baginya, ia dan keluarganya bisa terus melanjutkan hidup.
Semoga kerja keras yang ia lakukan bisa membuahkan hasil yang menggembirakan dan bisa menyekolahkan anak-anaknya yang masih kecil, dan semoga kehidupannya bisa menjadi lebih baik.
oleh: Stevanny W./28_Vania/30 (x4)
ANTARA UANG TUA DAN SEMANGAT LAYAKNYA ORANG MUDA
Bapak tersebut bernama Pak Arifin dan sekarang beliau berumur 76 tahun. Beliau sudah berjualan uang-uang kuno sejak tahun 1958 di daerah Pasar Baru. Sebelumnya, beliau pernah juga berjualan koran dan main dolar. Hal itu dilakukan untuk menghidupi kebutuhan hidupnya dan setelah menikah, beliau pun harus menghidupi kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Pak Arifin memiliki 6 orang anak, 2 perempuan dan 4 laki-laki, namun istrinya kini sudah meninggal. Setelah anak-anaknya besar, beliau hidup sendirian dengan mengekost di daerah Pasar Baru. Beliau menggunakan hasil berjualan uang-uang lamanya untuk menghidupi kebutuhan hidupnya. Anaknya kini sudah hidup sendiri-sendiri.
Pak Arifin mengaku bahwa hasil penjualan tersebut hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itu pun ia harus berhemat mengingat hasil yang ia dapatkan kerap kali kurang. Ia mengaku bahwa sekarang jarang sekali orang yang mau membeli uang-uang kuno dibandingkan dengan jaman dahulu.
Walaupun begitu, Pak Arifin tetap menyenangi pekerjaannya tersebut karena berjualan uang-uang kuno sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Hal itu juga sekalian melengkapi hobinya yang senang dengan barang-barang kuno.
Yang sangat kami banggakan adalah perjuangannya yang begitu besar dan semangatnya yang tiada henti mengingat usia Pak Arifin yang sudah tidak muda lagi dan beliau harus bekerja mulai dari jam 8 pagi sampai 3 siang. Melihat lagi kondisi Pasar Baru yang outdoor sehingga terik panas matahari pun senantiasa terpancar.
Kami sangat menikmati wawanara tersebut karena Beliau sangat ramah dan mau menjawab segala pertanyaan kami tanpa ada rasa canggung. Namun akhirnya kami harus menghentikan wawancara mengingat Pak Arifin masih harus mencari nafkah. Yang hanya dapat kami katakan adalah “Terima kasih” dan “Berjuang terus ya Pak ! Semoga usahanya sukses !”
SUDAHKAH ANDA DAN SAYA BERSYUKUR ?
Setelah saya melihat-lihat keadaan kota Jakarta sekali lagi timbul rasa syukur yang sangat besar. Saya sangat bersyukur karena saya masih dapat hidup, memiliki keluarga yang lengkap dan harmonis, hidup berkecukupan, dapat bersekolah, dan memiliki teman-teman yang banyak. Kadang saya malu karena sering tidak bersyukur padahal Tuhan sudah baik sekali memberikan ini semua kepada saya.
Dan lewat tugas Religio ini saya makin betul-betul merasakan kebaikan Tuhan pada saya. Saya melihat dengan jelas kemiskinan yang dialami orang-orang banyak. Bagaimana susahnya mereka mencari nafkah untuk makan sehari-hari. Untuk membiayai anak mereka pun susahnya setengah mati. Ada pula perasaan prihatin dalam hati saya melihat itu semua.
Namun yang membuat saya justru kagum kepada mereka adalah perjuangan mereka untuk mencari nafkah yang luar biasa. Mereka rela bekerja siang-malam membanting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Itu pun belum tentu semua kebutuhan dapat terpenuhi.
Bagi saya orang seperti mereka betul-betul hebat. Semangat mereka selalu ada dan tidak pernah putus asa. Saya jadi merasa malu jika melihat mereka. Begitu mendapat kesulitan sedikit saya sudah menyerah padahal kesulitan yang saya alami tidak seberapa jika dibandingkan dengan kesulitan mereka. Sekarang saya jadi sering berpikir. Mereka saja tidak pernah putus asa masa saya yang baru begini saja sudah menyerah ?
Yang pasti setelah melihat sendiri dan mengetahui lebih dalam sisi kemiskinan, saya jadi lebih menghargai apa yang saya punya dan bersyukur kepada Tuhan. Saya betul-betul merasakan kebaikan Tuhan yang luar biasa. Dan pastinya saya lebih menghargai uang karena saya tahu betapa susahnya orang tua mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga karena saya percaya dengan pepatah yang mengatakan hidup itu seperti roda. Ada saatnya di atas, ada pula saatnya untuk kempes. Dan bagi saya, tugas ini benar-benar telah membuka mata saya.
Cella ( X-4 / 16 )