Tak pernah terbayang oleh saya, untuk hidup seperti sekarang. Hidup dengan segala kecukupan. Lain dengan kehidupan pak Elan jelan yang perlu bekerja keras untuk hidup. Sejak saya tinggal di Jakarta, saya tidak pernah mendengar pekerjaan “pembuat perahu”. Mungkin bila waktu itu bu Cicil tidak memberikan saya tugas ini, dan bila teman saya tidak mengajak saya untuk ikut SSVC untuk mengajar anak-anak di perkampungan nelayan, mungkin saya tidak pernah sadar akan pekerjaan Elan Jelan. Menurut saya pekerjaan di Jakarta kebanyakan hanya yang berhubungan dengan perkantoran. Tapi, setelah pergi ke perkampungan nelayan itu, saya begitu kaget. Melihat masih ada seorang pembuat perahu. Saya begitu terkesan dengan kisah hidup pak Elan Jelan itu, ia harus melewati jalan yang berliku-liku hingga bisa menjadi seorang pembuat perahu, dan tetap terus bertahan lagi. Karena biasanya, orang di Jakarta akan cenderung untuk pindah ke pekerjaan lain yang lebih baik.
Saya sadar dan sangat bersyukur karena saya hidup jauh lebih baik dari mereka. Melihat anak-anak yang ikut dalam SSVC, mengajar mereka, saya merasa sangat beruntung. Selama ini saya kurang bersyukur akan apa yang saya miliki, dan tidak memperlakukan apa yang saya miliki dengan baik, saya berbuat sesuka hati saya, tapi sejak melihat mereka, saya saya sadar untuk tidak memperlakukan apa yang saya punya sesuka hati saya lagi. Mereka melihat pensil mekanik saja sangat bingung, dan dengan kepolosan mereka membuat saya merasa malu. Karena barang yang saya miliki terlihat begitu “wah” di mata mereka. Tapi, saya menganggap barang yang saya punya itu biasa saja. Sungguh berbeda!
Maka itu mulai sekarang saya akan lebih menghargai jerih payah orang tua saya karena melihat kerja keras pak Elan Jelan, dan saya akan terus mengucap syukur pada Tuhan atas segala rejeki yang saya terima.
oleh: Stevanny W. x4/28
No comments:
Post a Comment