Wednesday, April 23, 2008

Kemiskinan di Sekitar Kita

Salah satu dari berbagai masalah yang terjadi di republik Indonesia adalah kemiskinan. Kemiskinan yang ada tidak hanya dalam rupa materi, tetapi juga kemiskinan akan iman, moral, kreativitas, dan sebagainya. Meskipun demikian, kemiskinan yang paling mencolok dan paling sering diangkat sebagai topik pembicaraan adalah kemiskinan material.

Di kota Jakarta, dari jendela gedung-gedung bertingkat yang megah dalam segala kemewahannya, kita dapat memandang deretan perkampungan kumuh di seberangnya. Sungguh ironis, segala bangunan megah yang tinggi menjulang berdiri bagaikan sebuah pulau indah di tengah samudra kemiskinan yang luas.

Kita tidak dapat memisahkan diri dari kemiskinan yang ada di sekitar kita. Bagaimanapun juga, kita semua hidup di Negara yang sama sebagai satu kesatuan. Alangkah baiknya kita menaruh perhatian kepada orang-orang yang dianggap kecil di mata masyarakat

Sehubungan dengan upaya mengenal kehidupan orang-orang kecil secara lebih dekat, kami mengadakan wawancara dengan dua orang pedagang kaki lima di kawasan Kelapa Gading. Kedua orang tersebut bernama Aris dan Samiati. Pertama-tama mari kita selami kehidupan Bapak Aris terlebih dahulu.

Bapak Aris berusia 35 tahun. Beliau berjualan mainan di depan Sekolah Tunas Karya, Kelapa Gading. Berbeda dengan pedagang-pedangang lain yang umumnya bersuara menggelegar, suara Bapak Aris begitu lembut, begitu pula tatapan matanya. Beliau juga cenderung tertutup. Ketika kami mendatanginya dan bertanya apakah kami boleh mewawancarainya, beliau pertama-tama menunjukkan ekspresi penolakan dan malah menganjurkan kami untuk mewawancarai para penjual makanan yang ada di sekitar sana. Tapi karena kami terus membujuk beliau, beliau akhirnya bersedia kami wawancarai.

Bapak Aris berasal dari daerah Brebes, Jawa Tengah. Beliau datang ke Jakarta karena alasan yang sama dengan alas an yang dimiliki orang-orang pada umumnya, yaitu untuk mengadu nasib. Beliau memaparkan betapa sulit kehidupan perekonomian di daerah asalnya.

Keputusan untuk berjualan mainan di depan Sekolah Tunas Karya adalah keputusan yang tepat bagi Bapak Arif. Menurut beliau, berjualan mainan tidak membutuhkan biaya yang terlalu banyak. Modal untuk membeli mainan-mainan tersebut kira-kira Rp 500.000,00. Sementara gerobak dapat beliau buat sendiri dari kayu-kayu yang ada. Keuntungan yang beliau dapat dari pekerjaannya tersebut bisa dikatakan lumayan, yaitu sekitar Rp 150.000,00 – Rp 200.000,00. Pekerjaan ini juga tidak mengharuskan beliau menguras tenaga dengan berkeliling menjajakan barang-barang dagangannya, sebab anak-anak yang akan datang menghampirinya. Selain itu, mainan tidak mungkin busuk seperti halnya makanan, sehingga tidak perlu takut busuk . Oleh karena itu Bapak Haris terus berjualan selama sembilan tahun.

Bapak Aris sudah bekeluarga dan telah dikaruniai seorang anak perempuan yang berusia delapan tahun. Dengan pendapatan yang beliau peroleh dari berjualan maianan, beliau masih sanggup menyekolahkan putrinya yang sekarang ini duduk di kelas dua sekolah dasar.

Setiap hari Bapak Aris bekerja dari pukul enam pagi sampai pukul lima sore. Pada hari-hari normal, dagangan beliau cukup laku. Namun, tiap kali banjir besar datang melanda DKI Jakarta dan wilayah Kelapa Gading khususnya, beliau tidak mendapat penghasilan sama sekali karena semua sekolah diliburkan. Naasnya, rumah kontrakan beliau di daerah Bermis, Kelapa Gading juga selalu terendam banjir. Akhirnya yang dapat beliau lakukan hanyalah pulang ke kampong halamannya untuk mengungsi sementara waktu. Beliau menguatkan dirinya dengan menganggap masa-masa pengungsian tersebut sebagai hari libur, walaupun jauh di lubuk hatinya beliau cemas dengan apa belau harus menghidupi keluarganya jika banjir di DKI Jakarta tidak kunjung surut.

Seperti semua orang di dunia, Bapak Aris pun selalu ingin maju di masal yang akan datang. Keinginannya untuk menarik lebih banyak pelanggan mendorongnya untuk mati-matian menyisihkan pendapatannya sedikit demi sedikit agar nantinya beliau bisa memiliki atau mengontrak sebuah ruko sebagai tempat berjualan. Beliau berharap agar kehidupan rakyat kecil tidak dipersulit oleh pihak manapun, terutama oleh pihak-pihak yang sering menunjukkan reaksi keras terhadap para pedagang kaki lim seperti dirinya.

Orang lainnya adalah Ibu Samiati (35). Ibu Samiati adalah seorang pedagang buah pepaya. Beliau berkediaman di Bermis, Kelapa Gading. Berbeda dengan Bapak Aris, Ibu Samiati adalah seorang perempuan yang tegas, terlihat dari sorot matanya dan cara berbicaranya. Tubuhnya yang gempal serta kulitnya yang coklat menambah seram penampilannya. Ibu Samiati sudah berkeluarga dan memiliki dua orang putri yang berusia 17 dan 2 tahun.

Ibu Samiati sudah berjualan buah-buahan selama 15 tahun. Beliau bukanlah orang asli Jakarta, melainkan berasal dari Madiun. “Mencari pekerjaan di Jakarta itu enak…” itulah jawaban Ibu Samiati ketika ditanyakan alasannya mengapa merantau ke Jakarta. Kemudian ketika ditanya mengapa memilih berjualan buah, Ibu Samiati berkata bahwa berjualan buah, khususnya papaya, mudah untuk dijual karena laku terus. Memang penghasilan didapatkan cukup untuk memenuhi kehidupan keluarganya sehari-hari, yaitu sekitar Rp 150.000,00 – Rp 200.000,00. Dari penghasilannya itu, Ibu Samiati bisa menabung sedikit untuk keperluan sekolah anaknya. Ibu Samiati berjualan dari pukul 7 pagi sampai pukul 11 malam.

Ada sebuah kisah unik yang terjadi pada saat banjir melanda Jakarta. Waktu itu karena banjir, Ibu Samiati terpaksa berjualan buah dengan cara melempar buah ke rumah-rumah warga yang menjadi korban banjir. Untungnya, rumah Ibu Samiati tidak terkena dampak banjir yang terlalu parah sehinggan harus mengungsi.

Sebagai manusia pada umumya, Ibu Samiati tentu memiliki beberapa harapan. Beliau ingin bisa memiliki sebuah rumah. Beliau juga berpesan lewat kami agar pemerintah memperhatikan nasib rakyat kecil dan untuk tidak menaikkan harga barang-barang kebutuhan.

REFLEKSI

AURELIA FEDIANA BUDIHARJO

X-4 / 03

Rasanya sudah ratusan kali saya menggunakan kata kemiskinan dalam berbagai essay yang saya buat. Namun saya berpikir, apakah dulu saya pernah benar-benar meresapi makna kata tersebut? Saya sendiri tidak ingat. Mungkin anda sendiri juga tidak ingat apakah anda pernah atau selalu sungguh-sungguh meresapi makna dari kata kemiskinan

Wawancara yang kami lakukan terhadap orang-orang yang dikategorikan masyarakat sebagai orang miskin membuat saya kini paham bahwa kemiskinan bukan sekedar kondisi dimana seseorang berkekurangan. Kemiskinan adalah sebuah kondisi yang keras di mana hanya orang-orang tegar yang sanggup menghadapinya. Kemiskinan adalah sebuah kondisi dimana seseorang harus berjuang mati-matian melawan dunia yang begitu pahit, begitu kejam,dan begitu menyakitkan, walaupun perjuangan tersebut tidak selalu bisa mengubah kenyataan getir tersebut. Kemiskinan adalah situasi di mana seseoranng diabaikan, dilecehkan, dan tidak dijunjung tinggi martabatnya.

Meskipun kemiskinan selalu merujuk pada pengertian yang negative, kita dapat juga melihat kemiskinan dari segi positifnya. Jika seseorang ditempatkan dalam kemiskinan, orang tersebut akan sungguh-sungguh memperlihatkan kualitasnya. Seseorang yang dipenuhi kebaikan akan berusaha mengatasi kemiskinan tersebut denagn cara megerjakan pekerjaan yang halal. Sementara itu, seseorang yang hanya dipenuhi oleh hawa nafsu akan berusaha mencari jalan pintas dalam mengatasi kemiskinan, misalnya dengan mencuri, menjual narkoba, dan sebagainya. Seseorang yang ditempatkan dalam kemiskinan juga akan diuji kesanggupannya dalam mensyukuri semua yang ia dapatkan.

Banyak orang yang menganggap orang-orang miskin yang ada di jalan-jalan mengganggu pemandangan. Banyak pula yang merasa kasihan melihat orang-orang semacam itu. Kini saya sendiri baru benar-benar menyadari, sebenarnya jika setiap orang tidak ingin terus-menerus merasa kesal atau merasa kasihan pada orang-orang miskin, tindakan yang perlu dilakukan hanya mengulurkan tangan kepada mereka. Yang saya maksud bukanlah uluran tangan yang memberikan sejumlah koin kepada mereka, melainkan uluran tangan yang menawarkan persahabatan. Dengan adanya persahabatan tersebut, kita tidak akan lagi menganggap mereka sebagai orang asing yang tidak sedap dipandang atau sebagai orang yang sekedar patut kita kasihani, melainkan sebagai sahabat yang harus kita kasihani, lindungi, dan hormati. Inilah yang dapat kita lakukan untuk mengatasi perendahan martabat kaum miskin yang kerap terjadi di Indonesia

PRISCILIA

X4 – 24

Kemiskinan adalah suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kemiskinan adalah suatu kondisi dimana seseorang hidup berkekurangan. Bila kita mendengar kata kemiskinan, yang terlintas di benak kita adalah jijik, mual, penuh dengan kekerasan, dan sebagainya. Padahal, kemiskinan tidak seburuk yang kita kira. Bahkan dari kemiskinan kita dapat mempelajari sesuatu.

Dua orang nara sumber yang telah saya dan rekan saya wawancarai, memiliki kesan yang jauh dari anggapan orang banyak mengenai kemiskinan. Bapak Aris dan Ibu Samiati adalah insan yang ramah, tidak kasar, tidak menjijikkan. Mereka mau melayani pertanyaan-pertanyaan kami dengan sabar. Mereka sopan, bahkan kepada kami yang lebih muda dari mereka. Mereka juga pekerja keras yang memiliki dedikasi dalam pekerjaannya, walaupun hanya sebagai penjual mainan dan penjual buah papaya.

Alangkah malunya kita, bila sebagai orang yang berilmu dan lebih “beruang” dibanding mereka tidak mampu bersikap ramah, kasar, jahat, tidak sopan, bahkan tidak mampu memahami etos kerja.

Yang sangat diharapkan dari kita, masyarakat kelas menengah keatas, mari bersama membangun relasi baik dengan orang “kalangan bawah.” Ayo kita atasi perendahan kaum miskin. Mulailah untuk menghargai dan menghormati orang miskin. Tuhan saja tidak pernah membeda-bedakan umatnya dari kalangan atas atau bawah, mengapa kita yang tidak punya kuasa berani mengelompokkan diri? Seperti yang telah saya katakan di awal, cobalah untuk belajar arti kerja keras dari mereka. Walau mengetahui kenyataan bahwa akan sulit untuk menjadi orang berkecukupan, mereka masih terus bekerja keras.

Apakah kita juga mampu untuk berja keras dan survive bila kita berada dalam posisi yang sama seperti mereka?

Pertanyaan di atas sekiranya dapat menjadi awal mula untuk mengatasi perendahan kaum miskin di Indonesia, bahkan di dunia.

No comments: