Saya, selama hidup saya 15 tahun ini, jujur saja, belum pernah sekali pun betul-betul merasa puas dengan apa yang saya punya. Saya selalu melihat orang lain yang di atas, dan tidak memikirkan kehidupan orang-orang di sekitar saya yang masih banyak membutuhkan pertolongan, khususnya pertolongan ekonomi – walaupun saya tahu, mereka ada dan tidak jauh berada dari saya.
Selama ini saya merasa tidak puas dengan banyak hal. Sebut saja uang jajan, saya merasa uang jajan saya itu agak pas-pasan untuk per harinya. Dan itu saja sudah membuat saya mengeluh dan memprotes kedua orang tua saya.
Kemarin Selasa (22 April 2008), di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, saya dan Denise bertemu untuk mengerjakan tugas religiositas. Pertama kali, kami berpikir untuk mewawancarai seorang tukang parkir. Namun, karena kami merasa ia cukup sibuk, maka kami tidak jadi mewawancarainya. Tatapan kami beralih ke seorang penjual minuman di sekitar sana. Namun, di perjalanan kami menghampiri tukang minuman tersebut, kami bertemu Ibu Yati, seorang penjual pecel keliling di daerah Kelapa Gading. Kariernya di bidang ini sudah mencapai sekitar 5 tahunan.
Dari percakapan dengan Ibu Yati itulah, mata hati saya terbuka. Bahwa sebenarnya apa yang saya protes sesungguhnya tidak layak diproteskan dan dikeluhkan. Tentang keuangan, uang jajan saya sehari bahkan lebih banyak dari penghasilan hariannya, yang digunakannya itu untuk makan dan tinggal bersama 3 anaknya. Bayangkan, perjuangannya seharian penuh keringat berjalan kaki di bawah teriknya matahari sambil memikul dagangan, apa itu pasti cukup menghidupi keluarganya? Untuk saya dan teman-teman saja makan di KFC sudah murah sekali. Tapi buat mereka, mereka merasa bahwa itu makanan yang “SO WHOA!” Dengan penghasilan seperti itu, mereka harus pintar-pintar memilih makanan yang sehat namun murah, kontrakan saja bisa menunggak. Tapi saya dengan enaknya membeli apa yang saya mau tanpa pikir panjang.
Saya sadar bahwa saya adalah gadis yang sangat beruntung. Saya bisa bersekolah, mendapatkan uang jajan yang cukup layak (yang bagi mereka sudah merupakan penghasilan yang besar), punya mobil sehingga tidak perlu berjalan kaki ke mana-mana, dll. Pertama kali saya takjub mengetahui kehidupan mereka secara langsung. Tapi hal itu membuat saya sadar bahwa Tuhan sungguh baik pada saya. Melalui orang tua saya, Ia memelihara saya dengan sangat baik. Bayangkan kehidupan mereka yang hitungannya hanya untuk hari ini. Makan saja susah, anak-anak Ibu Yati tidak bersekolah, malang betul nasibnya.
Dan sejak Selasa itu saya mulai berpikir-pikir kalau mau menggunakan uang. Karena saya jadi tahu untuk mengumpulkan uang sedikit saja butuh perjuangan yang amat sangat berat dan panjang. Uang jajan yang saya peroleh, dibayar mahal dengan keringat orang tua saya. Saya sadar saya tidak boleh lagi memboros-boroskan uang saya, karena lebih baik diberikan pada yang lebih membutuhkan. Banyak orang di luar sana yang masih butuh uluran tangan saya. Dan tentu saja berkat tugas religio ini saya belajar untuk selalu bersyukur pada Tuhan dan menikmati kehidupan yang telah dikaruniakan-Nya pada saya. Karena, mereka saja yang kekurangan materi bisa menikmati hidup mereka, tetap bahagia, mengapa kita tidak? Padahal Tuhan telah meringankan 1 beban kita, yakni keterbatasan ekonomi.
Saya bersyukur atas semua yang sudah saya miliki, saya juga bersyukur dengan adanya tugas religiositas ini saya bisa lebih memaknai kehidupan saya.
Catherine Anabella, X4/5
Saturday, April 26, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment