Jalanan agaknya lebih sepi dibanding biasanya pada hari Kamis, 24 April 2008. Mungkin sore-sore begitu belum banyak orang yang pulang kerja dan anak-anak muda yang biasanya nongkrong di daerah sana belum mulai melakukan aktivitasnya. Kami yang baru saja pulang sehabis melakukan tugas kelompok Kimia, saat itu sedang pusing-pusingnya memikirkan tugas wawancara religiositas kami sambil berputar-putar di sekitar komplek untuk sekedar melihat siapakah yang bisa dijadikan sasaran untuk wawancara dadakan. Dan tiba-tiba seperti mendapat "bantuan" dari atas, ,(hahaha), kami melihat sesosok tubuh berkemeja putih dan bertopi merah dengan gerobaknya di depan rumah salah seorang tetangga. Tanpa ba bi dan bu lagi, orang itu langsung kami jadikan target wawancara di sore yang mendung itu, dan dengan sedikit terburu-buru kami masuk ke rumah untuk mengambil dompet. Yah, kami berpikir akan lebih baik jika kami membeli paling tidak seporsi makanan apa pun yang dijadikan barang dagangannya (karena jaraknya agak jauh tidak terlihat dengan jelas apa yang dijualnya). Dan setelah melihat-lihat isi dompet, kami segera meluncur ke tempat ia berdiri bersama gerobak putih kesayangannya.
Tak ada semenit kami tiba di tujuan dan pertanyaan kami terjawab. Ia menjual bakso dengan berbagai variannya. Ada pangsit goreng, siomay, bihun dan mie sebagai pelengkap. Di sana, setelah sedikit basa-basi di awal pembicaraan, kami memutuskan untuk membeli sebungkus bakso untuk dibawa pulang. Memakai trik "bertanya secara alamiah" yang disamarkan menjadi ngobrol-ngobrol sekilas, kami tahu bahwa ia bernama Yanto. Kemudian diselingi kalimat, "Berapa porsi?", atau "Pakai seledri?" kami bertanya-tanya sedikit tentang hasil jualannya hari itu. Ia menjawab sambil sedikit tertawa, kalau hari itu belum terlalu banyak yang terjual, namun ia tak menyebutkan secara pasti berapa jumlah yang sudah terjual. Biasanya, ia mampu menjual hingga 20 mangkuk, namun tidak semuanya terjual dengan harga 5000 rupiah per porsinya, karena ada juga yang hanya membeli dengan harga 3000 atau 4000 rupiah. Sebetulnya dalam hati kami sudah berpikir bahwa itu lumayan banyak jika dihitung-hitung, sayangnya pikiran itu langsung menghilang setelah ditepis kalimat berikutnya, "Yah, tapi untungnya hanya sekitar 1500 per mangkok...Dulu sih hampir 2000an, tapi bahan-bahan harganya sudah naik, Non... Dan kalau harga baksonya dinaikkan juga, rasanya jadi kemahalan..." . Baiklah, anggap saja ia berhasil menjual semua mangkuk dengan harga 5000rupiah, keuntungannya pun hanya sekitar 30ribu rupiah. Jadi ingin membeli lebih,
Yanto belum menikah tetapi ia menjadi tulang punggung keluarga bagi ibu dan adiknya. Dengan keuntungan yang ia peroleh, ia harus memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya serta membayar uang sekolah bagi adiknya. Sebenarnya kebutuhan keluarganya belum tercukupi dengan baik, apalagi dengan harga bahan sembako yang terus naik. Namun keluarganya meminimalkan segala kebutuhan yang harus dikeluarkan agar semuanya dapat terpenuhi.
Dan sekarang, Yanto hanya bisa berharap agar suatu hari nanti kehidupannya akan menjadi lebih baik lagi dari kehidupannya yang sekarang. Pembicaraan kami terhenti karena bakso kami sudah siap, karenanya kami segera membayar seraya mengucapkan terima kasih, bukan hanya untuk baksonya, tapi juga atas kesediaannya menceritakan sekilas mengenai kehidupannya.
No comments:
Post a Comment