oleh: LINTANG (18) dan TRISKA (29)
Untuk tugas religiositas kali ini, kami berkesempatan untuk mewawancarai tiga orang waria yang sering ngamen di sekitar rumah Triska di bilangan Kalibata. Memang, awalnya kami sempat merasa takut saat mendatangi mereka. Terutama saat mereka tidak mempunyai banyak waktu karena harus berkeliling mencari uang. Karena itulah kami terpaksa mewawancarai mereka dalam waktu yang singkat.
Untuk tugas religiositas kali ini, kami berkesempatan untuk mewawancarai tiga orang waria yang sering ngamen di sekitar rumah Triska di bilangan Kalibata. Memang, awalnya kami sempat merasa takut saat mendatangi mereka. Terutama saat mereka tidak mempunyai banyak waktu karena harus berkeliling mencari uang. Karena itulah kami terpaksa mewawancarai mereka dalam waktu yang singkat.
Kami berhasil mencegat mereka dengan bantuan tetangga yang memiliki warung di samping rumah Triska. Tiga orang ini memang sering ngamen di warung tersebut sehari-harinya. Hari ini kebetulan warung itu tengah dikunjungi banyak tamu, sehingga tamu-tamu itu menatap kami dengan heran saat kami mendatangi dan berbincang-bincang dengan waria tersebut. Tetapi hal tersebut tidak mengganggu berlangsungnya kegiatan ini.
Tiga orang ini memiliki nama panggung Alda, Rini, dan Reva. Usia mereka berkisar antara 25-30 tahunan, meskipun Reva mengaku usianya baru 17 tahun sembari tertawa genit. Perjalanan karir mereka berbeda-beda. Alda sempat bekerja di salon pada tahun 2002-2006. Sementara sebelum ini, Rini dan Reva mengenyam pendidikan sekolah.
Jam kerja mereka pun berbeda-beda dan tidak menentu. Terkadang dimulai pada jam 13.00 atau 14.30. Meskipun jam ini tergolong sangat siang bagi pekerja-pekerja biasa, namun jam kerja seperti ini wajar bagi kalangan waria, mengingat mereka harus bekerja sampai dini hari. Rute ngamen mereka dimulai dari berkumpul bersama waria-waria lain di stasiun tertentu dan melanjutkan dengan kereta Bekasi ke Manggarai, Bogor, dan banyak lagi tempat di Jakarta, salah satunya stasiun Pasar Minggu Baru yang dekat dengan lokasi wawancara ini. Pada hari-hari tertentu, misalnya Kamis, mereka juga mendapatkan job untuk tampil di diskotik.
Dari pekerjaan ini, mereka biasanya mendapatkan penghasilan sebesar Rp 100.000,- setiap harinya. Namun pada hari-hari yang bercuaca buruk, misalnya hujan, mereka hanya mendapatkan sekitar Rp 50.000,-. Mereka mengakui bahwa pekerjaan sebagai waria mendapatkan banyak cercaan dari masyarakat, misalnya diperlakukan tidak sopan dan kasar. Tetapi mereka yang menganut prinsip hidup mengalir bagaikan air ini tidak mempersoalkannya.
”Yang penting dibawa happy aja,” ujar Reva santai, diikuti dengan anggukan kepala dari kedua temannya.
Ketika ditanya tentang alasan mereka memilih profesi ini, jawaban mereka pun beraneka ragam. Mayoritas alasan mereka berkaitan dengan orientasi seksual masing-masing.
”Kalo aku dan Alda sih udah dari kecil,” jawab Reva seadanya.
Meskipun ia tidak menjelaskan lebih rinci, namun kami sudah dapat mengetahui bahwa maksud ucapannya adalah tentang orientasinya yang homoseksual.
”Kalo aku sih masih suka cewek sedikit. Yah, 50% cewek dan 50% cowok, gitu. Biseks,” kata Alda menimpali.
Bagaimana dengan tentangan dari orangtua? Reva menjawab bahwa ia dan kedua temannya memiliki status ’merdeka’, artinya belum diketahui oleh keluarganya karena mereka menjalankan pekerjaan ini dengan diam-diam. Jumlah anggota keluarga yang mengetahuinya hanya sekitar 20%, atau kerabat-kerabat terdekat saja.
Reva, Alda, dan Rini yang menganut agama Islam ini memiliki harapan sama seperti orang-orang lain, yaitu menjalani kehidupan selayaknya orang biasa, menjalani kehidupan rumah tangga, dan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
”Alda dan Rini mungkin nantinya masih akan nikah, kalo aku sih nggak,” kata Reva, mengakhiri wawancara ini.
No comments:
Post a Comment