Kami (Ade dan Aurora) memulai tugas ini pada hari Rabu, tanggal 23 April 2008. Sekitar pukul tujuh pagi kami berdua sudah sampai di sekolah. Selama di sekolah kami tidak langsung pergi mewawancara, tetapi berdiskusi tentang di mana kami akan melakukan wawancara. Selain berdiskusi kami juga mengerjakan tugas-tugas lain yang kami dapat dari guru lain seperti Akuntansi, Fisika, dan Sejarah. Pukul setengah 11 akhirnya kami memutuskan untuk melakukan wawancara ke Pasar Baru. Setelah sampai, kami mulai berjalan menyusuri Pasar Baru untuk mencari orang yang akan diwawancara. Dimulai dari jalan masuk pasar hingga ujung pasar, kami tidak menemukan orang yang kami anggap cocok untuk diwawancarai.
Sekitar 10 menit kami terus menelusuri jalanan di Pasar Baru, hingga pada akhirnya kami mulai merasa putus asa. Kami pun akhirnya memutuskan kembali ke sekolah. Dari ujung pasar kami kembali ke ujung pasar yang lain. Sesaat kami ingat, kami melihat seorang ibu tukang jamu sedang duduk di ujung jalan itu. Segera kami mencoba mendatanginya. Sayangnya, sesaat kami hampir sampai di tempat, ibu tukang jamu itu sudah menggendong bakul jamunya dan berjalan berlawanan arah dengan kami. Kami segan untuk memanggilnya kembali, oleh karena itu kami hanya meneruskan perjalanan kami.
Di seberang jalan tempat ibu tukang jamu itu baru saja singgah, kami melihat ibu-ibu yang berpenampilan sama dengan ibu tukang jamu itu dan sedang mengurusi barang dagangannya yang juga ditaruh di dalam bakul-bakul. Semula kami tidak tahu ibu itu berjualan apa dan kami pun juga masih segan untuk mendatangi ibu itu. Namun pada akhirnya kami memberanikan diri untuk mendekatinya. Kami pun mendekatinya. Gagasan kami mula-mula mungkin ibu itu berjualan Pecel. Setelah kami mendekatinya, ibu itu sedang menyelesaikan pesanan seorang bapak-bapak yang sedang duduk di sebelahnya. Ternyata ibu itu tidak menjual Pecel namun hal lain yang kami tidak tahu.
Kami pun memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu itu, ”Permisi,Bu. Ibu itu apa?”. Muka ibu itu masih tetap sibuk dengan jualannya namun sambil menjawab, ”Ini...Getuk.”. Kami pun bertanya lagi, ”Satu porsinya berapa, Bu?,” Ibu itu pun menanggapinya dengan meembuat dua jari ke arah kami. Kami menjadi bingung dan kami bertanya lagi, ”Berapa, Bu?” . Jawabnya,” 2000.” Akhirnya kami membeli satu porsi Getuk yang dijual ibu itu. Kemudian kami pun mulai mencoba untuk bertanya kepada sang ibu, ”Permisi,Bu. Kami boleh tanya-tanya tidak,Bu?”. Ibu itu pun malah kembali bertanya, ”Tanya-tanya soal apa?”. Terlihat sang ibu malah menjadi takut. Kami pun langsung menjawab, ”Iya...kami ingin bertanya tentang pekerjaan ibu,” sambil memasang senyum lebar. Ibu itu pun akhirnya mau diwawancarai.
Nama beliau adalah Ibu Wasmi. Beliau berumur 39 tahun dan lahir pada tanggal 10 November 1964. Kami mengetahuinya dengan melihat KTP yang beliau persilahkan untuk dilihat oleh kami. Beliau berasal dari Indramayu. Beliau ke Jakarta sebelum tahun 2000 dan dijelaskan bahwa saat itu belum ada jalan layang untuk kereta api oleh beliau. Saat itu beliau diajak ke Jakarta oleh ”Bos”,untuk ikut bekerja jualan Getuk. Awal-awal beliau berjualan di Jakarta, barang-barang dagangan yang beliau dapat tidak dibuat sendiri melainkan didapat dari ”Bos”-nya itu. Namun pada akhirnya sekarang ini beliau sudah dapat membuat Getuk sendiri dan terlepas dari ”Bos”. Beliau tinggal di daerah Tanjung Priok, Jalan Kalibaru Barat, Gang Manggis. Beliau membuat Getuk dengan mendapat bahan dari tetangganya yang menjual bahan-bahannya itu. Penghasilan beliau hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, makan dan membeli bahan membuat Getuk itu sendiri. Tiap harinya penghasilan yang ia dapat berkisar 100.000. Uang tersebut digunakan kembali untuk biaya membuat Getuk, sehingga pendapatan bersih yang ia peroleh kurang lebih hanya 15000. Kegiatan beliau tiap harinya adalah, tiap pagi, sekitar pukul setengah enam bersama dengan barang dagangannya, beliau berangkat dari Tanjung Priok ke Pasar Baru tiga kali naik turun kendaraan umum. Seharian beliau menggendong bakulnya dan menelusuri jalanan Pasar Baru yang cukup luas itu hingga sore hari. Sore harinya, beliau pun pulang kembali ke Tanjung Priok. Beliau tinggal di sekitar kontainer-kontainer yang ada di sana. Sesampai di rumah, beliau langsung ke rumah tetangganya membeli bahan untuk membuat Getuk. Namun beliau kembali ke rumah dan beristirahat. Beliau baru memulai membuat Getuk itu sekitar pukul 1 dan 2 pagi. Beliau pun harus menunggu agar Getuk itu benar-benar pulen selama berjam-jam kemudian.
Beliau telah menikah dan memiliki 5 orang anak, 2 anak perempuan dan 3 anak laki-laki. Namun salah satu anak laki-lakinya meninggal sehingga beliau tinggal memiliki 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Seluruh keluarganya maupun suaminya tinggal di kampung. Sekarang ini anak-anak perempuannya telah menikah, mengikuti suami-suami mereka, dan memberikannya 2 orang cucu. Setiap tahun, beliau pasti selalu pulang ke Indramayu menengok keluarganya. Biasanya setiap masa-masa Ramadhan.
Hal terakhir yang kami tanyakan adalah mengapa beliau mau bekerja menjadi seorang penjual Getuk. Beliau pun menjawab karena hanya itu yang dapat beliau lakukan. Beliau bahkan tidak dapat membaca dan menulis. Demikian pertanyaan kami mengenai keluarganya pun berakhir. Kami pun merasa sudah cukup lama kami mewawancarai beliau. Kami juga melihat beliau telah siap-siap untuk kembali menggendong bakulnya itu. Namun sebelumnya kami pun meminta untuk berfoto bersama. Namun tiba-tiba sang Ibu berkata, ” Aduh! Untuk apa? Nanti saya diapa-apain..”. Ternyata sang ibu itu masih merasa takut. Kami pun berusaha untuk meyakinkan sang ibu bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Kami pun menjelaskan bahwa ini adalah tugas dari sekolah dan bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Pada akhirnya kami berhasil membuat sang ibu mau untuk difoto. Namun karena kami hanya berdua dan kami segan meminta tolong orang-orang di sekitar kami, kami memutuskan untuk berfoto sendiri-diri dengan bergantian memfoto. Tidak lupa kami memfoto sang ibu sendiri bersama dengan bakul-bakulnya. Selesailah sudah wawancara kami dan kami berpamitan dengan sang ibu penjual Getuk itu. Kami meyalaminya dan meminta pamit. Ibu itu pun pergi sambil menggendong bakulnya dan berjalan berlawanan arah dengan kami. Kami pun kembali ke sekolah.
Sekitar 10 menit kami terus menelusuri jalanan di Pasar Baru, hingga pada akhirnya kami mulai merasa putus asa. Kami pun akhirnya memutuskan kembali ke sekolah. Dari ujung pasar kami kembali ke ujung pasar yang lain. Sesaat kami ingat, kami melihat seorang ibu tukang jamu sedang duduk di ujung jalan itu. Segera kami mencoba mendatanginya. Sayangnya, sesaat kami hampir sampai di tempat, ibu tukang jamu itu sudah menggendong bakul jamunya dan berjalan berlawanan arah dengan kami. Kami segan untuk memanggilnya kembali, oleh karena itu kami hanya meneruskan perjalanan kami.
Di seberang jalan tempat ibu tukang jamu itu baru saja singgah, kami melihat ibu-ibu yang berpenampilan sama dengan ibu tukang jamu itu dan sedang mengurusi barang dagangannya yang juga ditaruh di dalam bakul-bakul. Semula kami tidak tahu ibu itu berjualan apa dan kami pun juga masih segan untuk mendatangi ibu itu. Namun pada akhirnya kami memberanikan diri untuk mendekatinya. Kami pun mendekatinya. Gagasan kami mula-mula mungkin ibu itu berjualan Pecel. Setelah kami mendekatinya, ibu itu sedang menyelesaikan pesanan seorang bapak-bapak yang sedang duduk di sebelahnya. Ternyata ibu itu tidak menjual Pecel namun hal lain yang kami tidak tahu.
Kami pun memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu itu, ”Permisi,Bu. Ibu itu apa?”. Muka ibu itu masih tetap sibuk dengan jualannya namun sambil menjawab, ”Ini...Getuk.”. Kami pun bertanya lagi, ”Satu porsinya berapa, Bu?,” Ibu itu pun menanggapinya dengan meembuat dua jari ke arah kami. Kami menjadi bingung dan kami bertanya lagi, ”Berapa, Bu?” . Jawabnya,” 2000.” Akhirnya kami membeli satu porsi Getuk yang dijual ibu itu. Kemudian kami pun mulai mencoba untuk bertanya kepada sang ibu, ”Permisi,Bu. Kami boleh tanya-tanya tidak,Bu?”. Ibu itu pun malah kembali bertanya, ”Tanya-tanya soal apa?”. Terlihat sang ibu malah menjadi takut. Kami pun langsung menjawab, ”Iya...kami ingin bertanya tentang pekerjaan ibu,” sambil memasang senyum lebar. Ibu itu pun akhirnya mau diwawancarai.
Nama beliau adalah Ibu Wasmi. Beliau berumur 39 tahun dan lahir pada tanggal 10 November 1964. Kami mengetahuinya dengan melihat KTP yang beliau persilahkan untuk dilihat oleh kami. Beliau berasal dari Indramayu. Beliau ke Jakarta sebelum tahun 2000 dan dijelaskan bahwa saat itu belum ada jalan layang untuk kereta api oleh beliau. Saat itu beliau diajak ke Jakarta oleh ”Bos”,untuk ikut bekerja jualan Getuk. Awal-awal beliau berjualan di Jakarta, barang-barang dagangan yang beliau dapat tidak dibuat sendiri melainkan didapat dari ”Bos”-nya itu. Namun pada akhirnya sekarang ini beliau sudah dapat membuat Getuk sendiri dan terlepas dari ”Bos”. Beliau tinggal di daerah Tanjung Priok, Jalan Kalibaru Barat, Gang Manggis. Beliau membuat Getuk dengan mendapat bahan dari tetangganya yang menjual bahan-bahannya itu. Penghasilan beliau hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, makan dan membeli bahan membuat Getuk itu sendiri. Tiap harinya penghasilan yang ia dapat berkisar 100.000. Uang tersebut digunakan kembali untuk biaya membuat Getuk, sehingga pendapatan bersih yang ia peroleh kurang lebih hanya 15000. Kegiatan beliau tiap harinya adalah, tiap pagi, sekitar pukul setengah enam bersama dengan barang dagangannya, beliau berangkat dari Tanjung Priok ke Pasar Baru tiga kali naik turun kendaraan umum. Seharian beliau menggendong bakulnya dan menelusuri jalanan Pasar Baru yang cukup luas itu hingga sore hari. Sore harinya, beliau pun pulang kembali ke Tanjung Priok. Beliau tinggal di sekitar kontainer-kontainer yang ada di sana. Sesampai di rumah, beliau langsung ke rumah tetangganya membeli bahan untuk membuat Getuk. Namun beliau kembali ke rumah dan beristirahat. Beliau baru memulai membuat Getuk itu sekitar pukul 1 dan 2 pagi. Beliau pun harus menunggu agar Getuk itu benar-benar pulen selama berjam-jam kemudian.
Beliau telah menikah dan memiliki 5 orang anak, 2 anak perempuan dan 3 anak laki-laki. Namun salah satu anak laki-lakinya meninggal sehingga beliau tinggal memiliki 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Seluruh keluarganya maupun suaminya tinggal di kampung. Sekarang ini anak-anak perempuannya telah menikah, mengikuti suami-suami mereka, dan memberikannya 2 orang cucu. Setiap tahun, beliau pasti selalu pulang ke Indramayu menengok keluarganya. Biasanya setiap masa-masa Ramadhan.
Hal terakhir yang kami tanyakan adalah mengapa beliau mau bekerja menjadi seorang penjual Getuk. Beliau pun menjawab karena hanya itu yang dapat beliau lakukan. Beliau bahkan tidak dapat membaca dan menulis. Demikian pertanyaan kami mengenai keluarganya pun berakhir. Kami pun merasa sudah cukup lama kami mewawancarai beliau. Kami juga melihat beliau telah siap-siap untuk kembali menggendong bakulnya itu. Namun sebelumnya kami pun meminta untuk berfoto bersama. Namun tiba-tiba sang Ibu berkata, ” Aduh! Untuk apa? Nanti saya diapa-apain..”. Ternyata sang ibu itu masih merasa takut. Kami pun berusaha untuk meyakinkan sang ibu bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Kami pun menjelaskan bahwa ini adalah tugas dari sekolah dan bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Pada akhirnya kami berhasil membuat sang ibu mau untuk difoto. Namun karena kami hanya berdua dan kami segan meminta tolong orang-orang di sekitar kami, kami memutuskan untuk berfoto sendiri-diri dengan bergantian memfoto. Tidak lupa kami memfoto sang ibu sendiri bersama dengan bakul-bakulnya. Selesailah sudah wawancara kami dan kami berpamitan dengan sang ibu penjual Getuk itu. Kami meyalaminya dan meminta pamit. Ibu itu pun pergi sambil menggendong bakulnya dan berjalan berlawanan arah dengan kami. Kami pun kembali ke sekolah.
No comments:
Post a Comment